DIALEKTIKA HUKUM ISLAM DAN POLITIK LOKAL
(Analisis Fatwa Bahtsul Masail NU tentang Keharaman Nuklir di Jepara)
LATAR BELAKANG
Fatwa haram terhadap pembangunan PLTN di wilayah Jepara yang dikeluarkan oleh Lembaga Bahtsul Masail PCNU Jepara beberapa minggu terakhir, menuai badai pro-kontra. Pasalnya Fatwa LBM menyangkut persoalan PLTN ini, berkaitan dengan kebijakan negara yakni pendirian reaktor Nuklir di desa Balong Kecamatan Kembang Kab Jepara. Proyek ini diyakini dapat memasok kebutuhan listrik di negeri tercinta Indonesia.
Kelompok yang pro PLTN Jepara diwakili oleh kalangan birokratik baik di tingkat pusat maupun daerah. Karena apabila PLTN ini bisa didirikan di Jepara maka keuntungan yang diambil oleh pemerintah sangat signifikan dalam mendongkrak income negara. Tak kurang dari Menteri Ristek Prof. Dr. Kusmayanto Kadiman, sangat antusias dalam melakukan sosialisasi pembangunan PLTN di Jepara ini. Bahkan terselenggaranya Bahtsul Masail yang dilakukan oleh Lembaga Bahtsul Masail juga mendapat suntikan dana dari Menteri Ristek.
Sementara kelompok yang kontra PLTN diwakili oleh kalangan muda yang bergerak di berbagai lembaga swadaya masyarakat dan kampus. Masyarakat Reksa Bumi (Marhem) misalnya yang dikomandani oleh Lilo Sunaryo PhD, dengan lantang menyuarakan bahaya dan kesengsaraan korban PLTN di berbagai negara di dunia. Begitu juga dengan Lembaga kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam NU) yang secara intens melakukan perang terhadap rencana pembangunan PLTN Muria Jepara.
Bagi kelompok ini gambaran PLTN Muria sangat menakutkan. Hal ini didasari pada kenyataan bahwa sejak muncul 1972, saat terbentuk Komisi Persiapan Pembangunan PLTN. Tiga tahun kemudian berdasarkan penelitian yang dilakukan Batan bekerja sama dengan NIRA, Italia, diperoleh 14 calon lokasi, dan lima di antaranya di Jateng. Dari 14 lokasi itu, 11 lokasi di pantai utara Jawa dan tiga di pantai selatan.[1]
Pada 1989, Badan Koordinasi Energi Nasional (Bakoren) memutuskan Batan melaksanakan studi kelayakan, dan terpilihlah NewJec (New Japan Engineering Consultan Inc), anak perusahaan Mitsubishi Heavy Industries (MHI) untuk melaksanakn studi tapak. Akhir 1993, NewJec melaporkannya ke Batan. Dan Ujung Lemah Abang Desa Balong, Jepara, disebut sebagai titik paling aman dari ancaman guncangan gempa bumi.
Tak hanya dari sisi lokasi, mereka juga mendekatinya dari sisi kebijakan energi. Informasi Menristek, di atas kertas harga listrik PLTN sedikit lebih murah (3,5-4 sen dolar AS per KWH) dari sumber konvensional juga menjadi rujukan, termasuk tinjauan manfaat, bahaya, dan risiko.
Pro kontra dalam proses pendiriasn PLTN Muria Jepara ini sesungguhnya merupakan representasi masyarakat dalam memandang pembangunan PLTN Muirisa Jepara. Kekhawatiran rakyat dalam pembangunan PLTN ini patut diperhatikan karena apabila di kemudian hari, terjadi mrabahaya sebagaimana terjadi di Chernobil maupun Jepang belakangan ini.
Perdebatan tentang manfaat atau maslahat tidaknya PLTN inilah yang memicu LBM PCNU Jepara berikhtiar untuk melihat nya dari kacamata Fiqh lewat forum bahtsul Masail. Hal ini wajar karena masyarakat Jepara merupakan masyarakat pantai utara yang mempunyai pemahaman keagamaan yang kuat, sehingga pendekatan keagamaan ini semakin signifikan dalam rangka mensosialisasikan hasil-hasil tehnologi mutahir seperti listrik bertenaga nuklir.
Fatwa haram yang dikeluarkan Lembaga Bahtsul Masil Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PC NU) Jepara untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Semenanjung Muria, Jawa Tengah, merupakan jawaban dari ikhtiar melakukan sosialisasi PLTN di tengah masyarakat. Ijtihad para kyai NU se Kab Jepara ini pada akirnya menjadi polemik baik di kalangan elit NU maupun di kalangan masyarakat pada umumnya.
Banyak masyarakat yang gundah dengan lahirnya fatwa haram ini. Bahkan banyak juga yang memandang lucu atas munculnya fatwa haram ini. Apa korelasi antara tenaga Nuklir dengan pandangan fiqih klasik.
Untuk menjelaskan korelasi ini maka dibutuhkan pendekatan hukum akan lahirnya fatwa haram terhadap rencana pembangumna PLTN. Munculnya fatwa hukum Islam tidaklah tumbuh di tengah hutan belantara, tetapi fatwa hukum Islam muncul karena adanya berbagai rentetan kejadian yang melatar belakanginya.[2]
Hukum Islam sebagai hukum yang diambil dari nilai-nilai yang terkandung dalam dalil-dalil agama, senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan lokus dan waktu. Tidak ada unifikasi hukum Islam secara massal, yang ada adalah kesamaan substansi terhadap hukum suatu perbuatan. PLTN Jepara misaklnya yang diharamkan oleh para ulama, bukan berarti nuklir diharamkan, tetaspi yang diharamkan adalah rencana pembangun PLTN di Jepara pada waktu sekarang ini. Sebenarnya yang haram bukan nuklirnya, tapi ekses negatif yang diperhitungkan akan terjadi karena ketidakmampuan pemerintah.
Sedangkan memudaratkan masyarakat, hukumnya haram, baik dari nuklir maupun dari faktor lain.
Untuk itu penelitian ini bermaksud untuk mengetahui latar belakang munculnya fatwa haram sekaligus mengetahui konsistensi lembaga bahtsul Masail NU dalam merumuskan fatwa-fatwa haram.
Pro dan kontra terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Muria kini telah memasuki ranah agama, setelah sejumlah ulama Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Tengah mengeluarkan fatwa haram terhadap PLTN, 1 September lalu.
Pengurus cabang NU Jepara, tuan rumah bahtsul masail yang mencetuskan fatwa haram itu, menolak pembangunan PLTN di Semenanjung Muria. Sementara itu, Pengurus Besar NU berpendapat nuklir bukan PLTN bersifat mubah (boleh, netral). Jadi, menghadapi penolakan warga NU di Jepara terhadap pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, PB NU mengusulkan supaya PLTN dibangun di tempat lain saja.
1. Hukum Islam berkembang sesuai dengann tempat dan tempatnya
Tak seorang pun ahli hukum yang mampu memberikan rumusan tentang hukum secara definitif, mengingat ruang lingkupnya yang terlalu luas dan banyak aspek yang dikandungnya. Karena itu seorang tokoh hukum barat terkemuka dan ahli filsafat hukum pernah mengungkapkan bahwa tak seorangpun ahli hukum yang mampu membuat definisi tentang hukum.[3] Maka wajar bila dalam literatur barat tidak ditemukan suatu rumusan hukum yang definitif dan universal.[4]
Secara terminologis (istilahi) hukum yang dituliskan dalam penelitian ini adalah hukum Islam. Dua kata hukum dan Islam secara independen mempunyai arti yang berdiri sendiri, tetapi ketika disatukan akan membentuk satu istilah baru. Dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah maupun literatur Arab lainnya, tak satu pun ayat yang menyebut arti kata hukum Islam baik secara lafdziyyah maupun istilah. Justru term hukum Islam merupakan terjemahan dari istilah yang dipakai oleh ilmuan barat Islamic Law. [5] Dalam wacana ilmu fiqh, para ulama hanya menggunakan term al-hukm tanpa mengikutkan kata al-Islam. Istilah al-hukm atau hukum Islam mempunyai arti yang cukup distingtif antara ulama ushl (ush’li) dengan ulama fiqh (baca : fuqaha). Jumhur ulama ush misalnya, mengartikan hukum sebagai:
khitab Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik berupa iqtidha (tuntutan, perintah atau larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadha’i (sebab, syarat dan mani’).[6]
Yang dimaksud dengan khithab di sini adalah inti dari khitab Allah (al-nushush al-syariyyah)[7] yakni kalam nafsi yang tidak berlafadz dan tak bersuara yang hanya dapat diketahui melalui indikasi dalalah lafdhiyyah dan maknawiyyah, bukan pengaruhnya (atsar). Adapun sifat-sifat yang berupa perbuatan-perbuatan mukallaf, yang merupakan hasil atau pengaruh dari al-nushush al-syar’iyyah seperti wajib, sunnah, wajib, makruh dan haram, tidak masuk dalam definisi tersebut. Karena sesunggunhnya khitab Allah itu merupakan kalamullah. Contohnya adalah hukum ijab merupakan inti dari khitab if’al.[8]
Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam bukunya I’lam al-Muwaqqiin menyatakan bahwa taghyiru al-ahkam bi tagayyuri al-azminati wa al-amkinati, hukum itu berubah sesuai dengan waktu dan tempat di mana hukum itu berada. Dengan demikian hukum Islam senantiasa dinamis sesuai dengan perkembangan masyarakatnya.
2. Hukum terpengaruh Politik
Dalam pandangan Moh Mahfud MD, karakter produk hukum senantiasa dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang melahirkannya.[9] Untuk itu fatwa lembaga bahtsul masail juga tidak lepas dari konfigurasi politik yang mengitarinya. Banyaknya kepentingan dalam perencana pembangunan PLTN Jepara, menyebabkan rencana pembangunan PLTN ini mengalami berbagai kendala. Tidak sedikit tokoh-tokoh lokal yang ikut larut dalam pro-kontra pembangunan PLTN, akibatnya konflik antar sesama warga sangat memungkinkan.
Konteks politik pasca reformasi, sangat bepengaruh dalam pembangunan hukum Islam di Indonesia, termasuk fatwa yang dilakukan oleh berbagai organisasi masyarakat seperti NU.
Lahirnya fatwa hukum yang mengharamkan rencana pembengunan PLTN tidak bisa dipisahkan dari situasi kondisi di mana konteks sosial politik itu terjadi.
Pendekatan Fikih dalam Politik
Banyak masyarakat yang menyikapi rencana pembangunan PLTN Muria dengan penuh keheranan terhadap fatwa haram yang dikeluarkan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PC NU) Jepara, Jawa Tengah, atas rencana pembangunan PLTN Muria. Betapa tidak, kiai-kiai “kampung” yang ada di kota kecil itu berani memberikan hukum terhadap sebuah proyek besar yang selama ini menjadi perdebatan petinggi-petinggi dunia.
Namun perlu diingat bahwa tradisi ilmiah di kalangan kyai pesantren adalah melihat persoalan dengan pendekatan fiqh.[10] Rencana pembangunan PLTN Muria yang dihukumi haram didasarkan kepada pendekatan fiqh, bahwa segala selalu diukur dengan mashlahat.
Jika persoalan dikembalikan ke titik nol -terbebas dari kepentingan apa pun- yang dilakukan PC NU Jepara itu bukanlah hal yang aneh atau ganjil. Dalam khazanah keilmuan Islam, khususnya pesantren, memang dikenal dasar-dasar yang bisa dijadikan acuan untuk menghukumi sesuatu, termasuk PLTN. Dasar yang digunakan adalah kemaslahatan umat (maslahah mursalah) atau kesejahteraan umum.
[1] Baca Suara Merdeka, Jumat 7 September 2007, juga www.batan.go.id, September 2007..
[2] Dalam kaidah fiqhiyyah dikenal kaidah Al-Hukmu yaduru maa Illatihi wujudkan wa adaman (hukum itu berubah disebabkan oleh ada atau tidak adanya illat hukum).
[3] Lili Rasyidi, Filsafat Hukum : Apakah Hukum itu ? (Bandung: Rosdakarya, 1993), hal. 29.
[4] Hornby menyatakan law as rule established by authority or custom, regulating the behavior of members of cummunity, cuontry etc., yang artinya bahwa hukum adalah aturan yang dibuat oleh negara atau adat kebiasaan yang diakui oleh masyarakatnya serta negara sebagai sebuah prilaku bagi anggotanya (AS. Hornby, Oxford Advance Learner’s Dictionary of Current English [England: Oxford University Press, 1993], hal. 29).
[5] Noel J. Coulson misalnya dalam The History of Islamic Law mengartikan hukum Islam sebagai implementasi dari doktrin-doktrin yang diwahyukan Tuhan dalam kondisi sosial saat itu (Noel J. Coulson, The History of Islamic Law [England: Oxford University Press, 1964], hal. 8). Sedangkan Josept Schacht mengartikan hukum Islam sebagai keseluruhan khitab Allah yang mengatur kehidupan setiap umat Islam dalam segala aspek hidupnya (Josept Schacht, Introduction to Islamic Law [England, Oxford University Press, 1964], hal. 6).
[6] Lihat Nidhomuddin al-Anshari, Fawatih al-Rahumut [Beirut: Dar al-Fikr, tt.], Juz II, hal. 54, Syaefuddin Abu al-Hasan Ali ibn Ali ibn Muhammad al-Amidi, Al-Ihkam fi Ush al-Ahkam [Beirut: Dar al-Fikr, 1981], Juz I, hal. 49, Muhammad Ali Hasaballah, Ush al-Tasyri al-Islamy [Beirut: Dar al-Fikr, tt.],hal. 365.
[7] Jalal Syamsuddin Muhammad ibn Ahmad al-Mahalli, Hasyiyah al-Allamah al-Bannani (Mesir: Musthofa Bab al-Halabi, 1937), Juz I, hal. 47-48.
[8] Wahbah Zuhaili, Ush al-Fiqh al-Islamy (Libanon: Dar al-Fikr al-Muashir, 1981), Juz I, hal. 38.
[9] Lihat Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998.,hlm. 74.
[10] Baca M Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, Jakarta: Kompas, 1988.