Dalam wacana intelektual Islam, Abu Hamid al-Ghazali (150-505 H / 1059-111 M, selanjutnya disebut Ghazali dikenal sebagai hujjat al-Islam wa al-Muslimin, karena dedikasi dan karya-karyanya dalam mengembangkan pemikiran Islam di berbagai bidang. Lebih dari lima puluh kitab hasil karyanya tersebar dalam katalogisasi kitab klasik, baik bidang teologi, filsafat, tasawuf maupun ilmu Fiqih.1) Master piece-nya dalam bidang tasawuf, ikhya ulum al-din menjadi rujukan primer dalam kajian-kajian ilmu tasawuf para ilmuan belakangan. Begitu pula al-munqiz min al-dalal, salah satukarya otobiografinya sekaligus memuat pandangan teologi Ghazali selalu menghiasi ilmu kalam.
Sedang pandangannya tentang filsafat terangkum dalam maqashid al-falasifah (pemikiran kaum filosuf) yang mengkonstruksi pemikiran-pemikiran ibn Sina dan al-Farabi dan tahafud al-falasifah yang penuh dengan kontroversi, sempat diklaim sebagai biang mundurnya stagnasi pemikiran Islam di dunia muslim. Begitu juga dalam ilmu fiqih -yang akan dikaji dalam tulisan ini- terdapat empat karya besar yang mempresentasikan pemikiran ushul fiqh Ghazali. Di kalangan ilmuan, al-Mustasyfa min ilm ushul dipandang sebagai karya besarnya dalam ushul fiqh. Ibn Khaldun dalam Muqaddimahnya sebagai mana dikutip oleh Ibrahim Sulaiman, memasukkan al-Mustasyfa min ilm ushul karya Imam Juwaeni al-Haramain, kitab al-Mu’tamad karya Abu Husain al-Basyiri al-Mu’tazali, serta al-Umd karya Qadi Abdul Jabar.2)
Karya lain dlaam ilmu ushul, ada beberapa tipologi pemikiran hukum yang dikembangkan oleh al-Ghazali dalam dua kitabnya yang pertama.3) Al-Mankhul min ta’liqat al-ushul dan syifaa al-ghalil fi bayani al-syibhi wa al-mukhayah wa masalik al ta’lil.
Dari tiga kitab karyanya dalam ilmu ushul, ada beberapa tipologi pemikiran hukum yang dikembangkan oleh al-Ghazali dalam dua kitabnya yang pertama (al-Mankhul dan syifaa alGalil), tipologi pemikiran hukumnya mengikuti corak pemikiran hukum gurunya, Imam Haraimain al-Juwaeni. Sedangkan pada al-Mustasyfa. Ghazali menjadi tokoh ushul yang mandiri yang menembakkan ilmu ushul yang filosofis.
Makalah ini mencoba membuat anatomi konteks sejarah sosial yang mencakup tipologi pemikiran hukum Ghazali dengan dua ramuan; bagaimana bentuk tipologi hukum Ghazali dalam karyanya dan mengapa terjadi dinamika dalam pemikiran hukum Ghazali.
Gagasan-gagasan Ilmu Ushul Fiqh
Karya-karya Ghazali telah banyak diedit oleh banyak para ulama, baik ulama yang sezaman maupun ulama belakangan. Fenomena ini merupakan indikasi bahwa karya-karya Ghazali mempunyai makna yang sangat berarti bagi kalangan intelektual. Bahkan belakangan muncul karya-karya ilmiah berkenaan dengan rihlah ilmiah selama Ghazali hidup, seperti yang ditulis oleh Abdurrahman Badawi.
Beberapa karya yang telah diedit, dielaborasi atau diringkas antara lain dalam bidang ushul fiqh. Dari empat karya ushul fiqh Ghazali, hanya tiga buku yang sempat diperbanyak oleh para penulis muslim, yakni al-Mankhul, Syifa al-Galul, dan al-Mustasyfa min Ilm al-Ushul.
Al-Mustashfa min Ilm al-Ushul
Sebagai salah satu karya besar Ghazali, kitab ini ditulis pada masa akhir hayatnya, yakni setelah Ghazali kembali dari Baghdad ke temapt asalnya, Tus. Meskipun sebelum sampai Tus, Ghazali lebih dulu merantau Naisabur.25) Diberbagai tempat perantauannya selama di Baghdad, Ghazali banyak mempelajari ilmu filsafat, khususnya mengkaji filsafat Ibn Sina dan al Farabi, serta karya-karya Aristoteles. Baginya filsafat merupakan salah satu metode untuk mencari kebenaran yang rasionalis. Namun setelah Ghazali mendalami filsafat secara penuh, Ghazali memberikan kritik-kritik tajam terhadap filosuf yang kerangka fikirnya melenceng, dengan karyanya Maqhashid al-Faiasifah dan Tahaful al-Falasifah.
Dengan latar belakang filsafat yang mapan, mainstream pemikiran Ghazali bertambah dinamis. Dalam bidang pemikiran hukum Islam (ushul fiqh), warna filsafatnya lebih dominan bila dibandingkan dengan sebelum Ghazali bergelimang dengan ilmu filsafat. Corak kitab al-Mustashfa banyak dipengaruhi oleh filsafat.26) Bahkan dalam satu tulisannya Ghazali menyatakan barang siapa yang tidak menggunakan mantiq, maka ilmunya tidak tsiqah (tajam).
Sistematika penulisan kitab al-Mustashfa min ilm Ushul Ghazali dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu : tsamrah (al ahkam), al mutsmir (adillar al-ahkam), turuq al-istismar (wajhu al-isridlal), dan al-mustatsmir (al-mujtahid). Empat pokok kajian yang ada dalam al-Mustafshfa, ia disebut al-aqtab al arba’ah.
Dalam qatb yang pertama (al-tsamrah) ini berisi tentang hukum wadh’i, taklift rukhshah, azimah dan berbagai permasalahan yang terkait. Yang kedua (al-mutsmir), meliputi pembahasan dasar hukum al-kitab, as-Sunnah dan ijma’. Sedangkan untuk al-qutb yang ketiga berisi tentang cara-cara istidlal. Atau dengan kata lain bagaimana sebuah hukum itu dibuat dielaborasi dari dalil-dalil yang pasti, dengan dua cara; pertama dengan cara kebahasaan dan kedua dengan memahami konteks al-isyarah, al-mafhum dan lain-lain. Dan yang terakhir adalah tentang al-mustasmir. Qutb ini berisi ijtihad mujtahid dan lain-lain yang berkaitan dengan ijtihad.27)
Sistematika penulisan yang demikian ini sesuai dengan tahapan aspek-aspek kajian dalam ushul fiqh yang harus diketahui oleh orang yang akan melakukan pencarian hukum (istinbath al-ahkam). Disini keunggulan Ghazali dalam menyusun materi kajian dalam sebuah kitab ilmiah. Bahkan Wael B. Haliaq sangat kagum dengan kajian yang dilakukan Ghazali dalam menjelaskan ushul fiqh yang sangat sistematis. Dalam sebuah tulisannya Hallaq pernah menyatakan bahwa Ghazali adalah tokoh pendiri ilmu ushul al-fiqh ternyata karyanya al-Risalah sudah banyak ditamu oleh para pengikutnya.28)
Memang dapat dimaklumi bila dalam kitab al-Mustashfa Ghazali kelihatan lebih independen dari pengaruh luar, karena ia sudah menjadi penulis yang mandiri (Imam Mustaqillan) yang mempunyai kecenderungan kritis. Imam Haramain yang pernah ikut membentuk pola pikir Ghazali juga mulai ditinggalkan. Ghazali ingin mencari trade mark sendiri sesuai dengan kualitas dan integritas kepribadiannya.
Dari keterangan diatas dapat dimengerti bahwa kitab al-Mustashfa ini mencerminkan nilai-nilai pemikiran al-Ghazali yang cerdas. Untuk itu dalam kitab ini Ghazali tidak mengambil atau mengintrodusir ide-ide para ulama pendahulunya. Beberapa pola yang mengindikasikan kepribadiannya dalam kitab ini adalah penggunaan beberapa kata yang dipakai dalam mengungkapkan kepribadiannya dalam kitabini adalah penggunaan beberapa kata yang dipakai dalam mengungkapkan pendapat dirinya; wa al-mukhtar indana (pendapat yang terpilih menurut saya), wa shalih indana (pendapat yang benar menurut saya), dan wa hadza ghairu mardiyyin indana (pendapat ini yang menurut saya tidak layak).
Penutup
Mengakhiri tulisan ini, ada beberapa catatan akhir yang mesti harus diperhatikan dengan pokok masalah yang diangkat. Pertama, dua tulisan Ghazali yang pertama, al-Mankhul dan Syifa al-Ghalil, Ditulis sebelum Ghazali memperdalam ilmu filsafat, yakni sebelum Ghazali mengadakan rihlah ilmiah di Universitas Nidhamiyah di Baghdad. Dengan kondisi Ghazali yang masih pemula maka dua kitab yang pertama kali dikarang lebih diharapkan untuk mempermudah dalam mengkaji ilmu ushul fiqh, yang diperoleh dari para ulama ushul terdahulu. Untuk itu bahasa yang dipakai juga menggunakan bahasa yang mudah dan lugas. Bahkan dalam kitab al-Mankhul, Ghazali menggunakan sistematika penulisan dengan cara tanya jawab yang dijawab sendiri oleh Ghazali.
Disamping itu Ghazali sebagai murid Imam Haramain masih banyak mengintrodusir apa yang pernah disampaikan Imam Haramain khususnya dalam hampir sama dengan al-Burhan fi Ilm ushul fiqh. Materi yang dibahas dalam al-Mankhul dari dua jilid, dibagi menjadi tujuh kitab yaitu : kitab pertama tentang al-bayan (alkitab dan assunah) yang meliputi pembahasan tentang amr, hani, amm, khash, af’al Rasul, Syari’ah, ta’wil serta hal-hal yang berkaitan dengan ijma’. Ketiga tentang qiyas, yang pada kitab syifa al-Ghalil dijelaskan dengan tuntas yang meliputi lima syarat-syarat qiyas versi Ghazali. Keempat adalah istidlal. Dilanjutkan dengan kitab tentang tarjih dan kitab al-Ijtihad. Pada kitab ketujuh yang terakhir, Ghazali mengakhiri dengan persoalan fatwa.29)
Sedangkan untuk al-Mustashfa min ilm al-ushul dikarang oleh Ghazali yang sudah tercurahkan yakni telah mendalami ilmu filsafat. Disini perlu dijelaskan bahwa disaat mendalami ilmu filsafat, bukan berarti Ghazali sama sekali meninggalkan disiplin ilmu-ilmu yang lain seperti tasawuf, ilmu fiqih maupun yang lain. Karena sebelum Ghazali belajar filsafatpun, Ghazali kecil sudah belajar ilmu fiqh maupun ilmu tasawuf.30) Merupakan suatu kewajaran apabila Ghazali sangat antusias untuk belajar filsafat yang sangat beragam, juga karena tuntutan ilmiah karena filsafat dalam Islam pasca ibn Sina (w. 1037) mengalami kemunduran,31) dan baru 1092 Ghazali menulis percikan tulisan tentang filsafat.
Faktor lain yang mendukung munculnya gagasan baru Ghazali juga karena sudah tidak ada tokoh yang paling berpengaruh pada Ghazali, Imam Haramain. Dengan demikian kesempatan Ghazali untuk merefleksikan ide-idenya dalam ushul fiqh menjadi sebuah kenyataan. Pola yang dikembangkan oleh Ghazali berbeda dengan karya-karya sebelumnya, sehingga Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman maupun Muhammad Hasan Haitu memasukkan al-Mustashfa dalam rumpun ilmu ushul fiqh yang empat.32