“Dalam perjalanan sejarah hukum pidana dan pemidanaan menunjukkan ada kaitan antara sistem hukum pidana dan pemidanaan dengan keperluan masyarakat yang ada di sekitarnya”
(Sir Henry James Summer Maine,
dalam Encyclopaedia Americana, 1977).
Pengantar
Persoalan hukum yang paling banyak menyedot perhatian masyarakat di Indonesia adalah perdebatan mengenai hukuman mati. Hukuman mati yang dieksekusikan pada Imam Samudera cs di penghujung tahun 2008 ini, seakan menjadi pertanda bahwa hukuman mati masih eksis di negara kita yang mayoritas berpenduduk muslim .
Sementara hampir 130 negara-negara di dunia telah melakukan moratorium bahkan penghapusan hukuman mati. Oleh karenanya, pembahasan berbagai dimensi hukuman mati dari perspektif keadilan sosial dan hokum menjadi sangat penting. Begitu juga dengan pandangan agama Islam, yang notabene dianut oleh sebagian besar warga negara Indonesia, dimensi hukuman mati menjadi menarik untuk dikritisi lebih detail.
Problematika hukuman mati yang berkembang sekarang ini menghasilkan dua arus pemikiran hukum; pertama, adalah mereka yang ingin tetap mempertahankannya berdasarkan ketentuan yang berlaku, dan kedua adalah mereka yang menginginkan pengahapusan secara keseluruhan. Kelompok yang setuju, beralasan jika secara sadar terpidana melakukan tindakan kriminalnya dan menunjukkan pelanggaran berat terhadap hak hidup sesamanya, maka negara tidak wajib melindungi dan menghormati hak hidup terpidana. Para pelaku kejahatan berat harus diancam hukuman mati sehingga bisa menjadi efek jera.
Sedangkan yang menolak hukuman mati beralasan bahwa hukuman yang satu ini merupakan pengingkaran terhadap hak asasi manusia, yaitu berupa hak hidup. Apalagi banyak kalangan yang menganggap pidana mati dalam Islam sangat kejam dan hanya merupakan pelampiasan balas dendam semata.
Untuk itu, tulisan ini bermaksud mendeskripsikan tentang berbagai persoalan yang terkait dengan pidana mati, yaitu tentang pandangan hukum Islam terhadap konsep dan penerapaan hukuman pidana mati.
HUKUMAN MATI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
Pembahasan hukum pidana adalah sebuah pembahasan yang berkelanjutan (continuities), seiring dengan kehidupan manusia. Oleh karena itu hukum pidana berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Begitu juga dengan hukuman mati, telah menjadi hukuman yang mensejarah.
Dalam sejarah hukum China, hukuman mati telah diterapkan untuk pidana pembunuhan. Bahkan sejak abad XVIII SM dalam kode raja Hammaurabbi di Babilonia diterangkan lebih detail, hukuman mati diterapan bagi 25 kejahatan besar yang berbeda, di antaranya sebagai hukuman bagi para pembunuh.
Di Kerajaan Mesir hukuman mati juga dilaksanakan, di mana hukuman mati diterapkan bagi orang yang melanggar dan mengambil barang milik penguasa. Biasanya eksekusi mati dilaksanakan dengan cara di palu. Selanjutnya jenis tindak pidana yang diancam hukuman mati berubah-ubah. Misalnya saja di kerajaan Yunani di abad ke-7 Sebelum Masehi hukuman mati berlaku untuk semua tindak pidana. Namun masa-masa selanjutnya jenis tindak pidana yang diancam pidana mati semakin terbatas.
Perjalanan hukuman mati tetap berlangsung hingga munculnya agama-agama besar seperti Kristen, Yahudi dan Islam.
Dalam Perjanjian Lama, paling sedikit ada sembilan kategori kejahatan besar yang pelakunya dipandang patut dihukum mati.
Yaitu: (a) membunuh dengan sengaja; (b) mengorbankan anak-anak untuk ritual keagamaan; (c) bertindak sembrono sehingga mengakibatkan kematian orang lain; (d) melindungi hewan yang pernah menimbulkan korban jiwa manusia; (e) menjadi saksi palsu dalam perkara penting; (f) menculik; (g) mencaci atau melukai orang tua sendiri; (h) melakukan perbuatan amoral di bidang seksual; serta (i) melanggar akidah atau aturan agama. Kemudian hukum agama Yahudi juga mengatur jenis dan bentuk hukumannya. Ada empat, yaitu hukuman (a) rajam; (b) bakar; (c) penggal kepala; dan (d) gantung. Jadi dalam agama nasrani, paling tidak perjanjian lama dan perjanjian baru tidak menolak hukuman mati.
Sementara, hukum Yahudi menentukan bahwa para pemuja berhala, penghujat, dan pemberontak dirajam dengan batu dan digantung pada sebuah tiang. Mereka dibiarkan mati secara mengerikan karena dipandang sebagai yang terkutuk oleh Allah. Dan agar bertambah najis, maka mayat mereka segera dikuburkan.
Orang Yahudi menggunakan berbagai teknik eksekusi termasuk hukum rajam, hukum pancung, hukum gantung, penyaliban, melempar terpidana dari atas tebing batu, dan digergaji. Cara eksekusi paling keji dan diperingati sepanjang sejarah manusia adalah penyaliban Yesus di Bukit Golgotha pada tahun 29.
Pada abad ketujuh Sebelum Masehi (SM), eksekusi hukuman mati dilakukan dengan cara yang sangat kejam, seperti disalib, ditenggelamkan di laut, dibakar hidup-hidup, dilempari batu sampai meninggal (hukum rajam), ditombak, dan dimasukkan ke dalam karung berisi anjing, ayam jago, ular berbisa, serta beruk.
Eksekusi hukuman mati yang paling terkenal dilakukan terhadap filsuf Yunani Socrates pada tahun 399 SM dengan menggunakan minuman berisi racun. Ia dituduh melakukan bidah dan mempengaruhi kaum muda dengan pikiran-pikiran yang “sesat”.
Sejak tahun 1767 terdapat gerakan penghapusan hukuman mati. Sejak muncul gerakan abolisionis, banyak negara yang mengurangi jenis-jenis tindak pidana yang diancam hukuman mati. Di Inggris, misalnya, antara tahun 1823 sampai 1837 sebanyak 100 di antara 222 tindak pidana yang diancam hukuman mati dihapuskan.
Di beberapa negara seperti di Eropa dan Amerika, penghapusan hukuman mati menjadi semakin marak berkaitan dengan gerakan penegakan Hak Azazi Manusia. Di Amerika misalnya di negara bagian Pennsylvania, secara resmi menghapus hukuman mati pada 1834. Pennsylvania adalah negara bagian pertama yang menghapus hukuman mati. Berangsur-angsur pengadilan di Amerika Serikat tidak menerapkan hukuman mati. Namun pada 1994 Presiden Bill Clinton menandatangani Violent Crime Control and Law Enforcement Act yang memperluas penerapan hukuman mati di AS. Pada 1996 penerapan hukuman mati diperluas lagi melalui Antiterrrorism and Effective Death penalthy Act yang ditandatangani Clinton.
Begitru juga dengan di benua Eropa, penghapusan hukuman mati merebak sekitar tahun 1950 hingga 1980. meski secadrar defacto tidak pernah ada pencabutan hukuman mati. Selanjutnya pada 1999 Paus Johanes Paulus II menyerukan penghapusan hukuman mati. Seruan itu bersamaan dengan Resolusi Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB yang menyerukan moratorium hukuman mati.
Praktek eksekusi beberapa tahun belakangan ini juga sempat memicu debat akan diskursus soal hukuman mati. Paling tidak di Indonesia perdebatan hukuman mati itu direpresentasikan oleh LSM (lembaga masyarakat sipil) dengan kelompok-kelompok penegak hukum.
Kontras menyebutkan ada dua kelompok pro dan kontra hukuman mati yang mewarnai debat hukuman mati di Indoenia. Pertama, kelompok organisasi HAM yang menolak praktek hukuman mati untuk segala bentuk kejahatan. Mereka memandang bahwa hak atas hidup bersifat absolut, sehingga tak ada kewenangan siapapun termasuk negara untuk menghilangkan nyawa seseorang.
Kedua, kelompok yang mempertahankan huuman mati sebagai salah satu alternatif hukuman, karena dianggap masih efektif untuk mengurangi angka kejahatan di Indonesia ini. Kelompok ini biasanya disebut sebagai kelompok dominan yang dipelopori oleh para penegak hukum termasuk pemerintahan.
Dalam sebuah acara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa hukuman mati kepada pengedar narkoba, koruptor, dan pelanggar berat HAM meski ditegakkan karena memberikan rasa adil bagi masyarakat. Majelis Ulama Indonesia/MUI juga pernah mengeluarkan fatwa tentang hukuman mati pada acara Musyawarah Nasionalnya yang ke-7, 28 Juli 2005 di Jakarta. Meski fatwa MUI tidak bersifat mengikat tetapi fatwa MUI ini menjadi pendukung bagi terlaksananya hukuman mati di Indonesia.
Pada masa jabatannya sebagai Ketua MA, Bagir Manan mendukung eksekusi hukuman mati. Menurut Bagir sebaiknya terpidana hukuman mati yang sudah sudah lima tahun divonis hukuman mati, namun belum dilaksanakan, Bagir mengusulkan agar hukumannya diubah menjadi hukuman seumur hidup.
Secara umum hukuman mati yang berlaku di Indonesia didasarkan pada Undang-Undang dan berbagai peraturan yang berlaku di Indonesia. Ada tiga kelompok aturan, yakni:
a) Pidana Mati dalam KUHP
Dalam KUHP warisan Belanda, pidana mati dimungkinkan atas beberapa kejahatan yang berat-berat saja, di antaranya adalah :
1. Pasal 104 (makar terhadap presiden dan wakil presiden)
2. Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang)
3. Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang)
4. Pasal 140 ayat 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut)
5. Pasal 340 (pembunuhan berencana)
6. Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati)
7. Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati)
8. Pasal 444 (pembajakan di laut, pesisir dan sungai yang mengakibatkan kematian).
b) Pidana Mati diluar KUHP
Beberapa peraturan di luar KUHP juga mengancamkan pidana mati bagi pelanggarnya.
1. Pasal 2 Undang-Undang No.5 (PNPS) Tahun 1959 tentang wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan.
2. Pasal 2 Undang-Undang No. 21 (Prp) Tahun 1959 tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi.
3. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak.
4. Pasa l13 Undang-Undang No. 11 (PNPS) Tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi. Pasal 23 Undang-Undang no. 31 T ahun 1964 tentang ketentuan pokok tenaga atom.
5. Pasal 36 ayat 4 sub b Undang-Undang no. 9 tahun 1976 tentang Narkotika
6. Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan.
c) Pidana Mati dalam Rancangan KUHP
Sedangkan dalam konsep rancangan KUHP, pidana mati dikeluarkan dari stelsel pidana pokok dan diubah sebagai pidana pokok yang bersifat khusus atau sebagai pidana eksepsional (istimewa). Penempatan pidana mati terlepas dari paket pidana pokok dipandang penting, karena merupakan kompromi dari pandangan yang pro dan kontra hukuman mati. Dalam konsep Rancangan KUHP terdapat beberapa macam tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, antara lain:
1. Pasal 164 tentang menentang ideologi negara Pancasila.
2. Pasal 167 tentang makar untuk membunuh presiden dan wakil presiden
3. Pasal 186 tentang pemberian bantuan kepada musuh.
Pasal 269 tentang terorisme.
Dukungan terhadap hukuman mati ternyata tidak hanya di Indonesia tetapi sebagian dunia internasional, juga masih mengakui eksistensi hukuman mati. Catatan Amnesti internasional mencatat ada 55 negara yang menetapkan hukuman mati sebagai hukuman alternatif.
Negara-Negara yang Masih Menerapkan Hukuman Mati
(Dalam Kurun Waktu 10 Tahun Masih Ada Eksekusi Mati)
(Total 55 Negara)
No Negara No Negara
1. Amerika Serikat 31 Mali
2. Afganistan 32 Mesir
3. Algeria 33 Mongolia
4. Bahamas 34 Oman
5. Bahrain 35 Pakistan
6. Banglades 36 Palestina
7. Belarus 37 Qotar
8. Botswana 38 Christoper
9. Burundi 39 Saudi Arabia
10. Chad 40 Sicrra
11. Cina 41 Singapura
12. Comoras 42 Somalia
13. Ethiopia 43 Sudan
14. Guatemela 44 Syria
15. Guine Equatorial 45 Taiwan
16. Guinea 46 Thailand
17. India 47 Trinidad
18. Indonesia 48 Uganda
19. Iran 49 Uni Emirat Arab
20. Irak 50 Vietnam
21. Japan 51 Yaman
22. Jordan 52 Zimbabwe
23. Kazastan 53 Libia
24. Korsel 54 Uzbekistan
25. Korut 55 Tobago
26. Kuwait
27. Kongo
28. Kuba
29. Libanon
30. Malaysia
Sumber : Amnesty International dan Hands off cain, September 2007.
Menurut Amnesty Internasional, sebagaimana dikutip Kontras, pada tahun 2005, terdapat 2.148 orang dieksekusi di 22 negara di seluruh dunia. 94% angka eksekusi mati tersebut terjadi di hanya empat negara, yakni RRC 1.770 orang dieksekusi, Iran mengeksekusi 94 terhukum, sementara Arab Saudi mencatat 86 orang dieksekusi. Negera urutan terbesar keempat pelaksana eksekusi hukuman mati adalah Amerika Serikat, yakni 60 terhukum di ekseskusi.
Untuk tahun 2006, Amnesty International menyebutkan 25 negara melakukan eksekusi untuk sekitar 1.591 terpidana. Artinya secara geografis jumlah negara yang melakukan eksekusi mati meningkat 10 persen, meski jumlah kasusnya menurun.
Berikut ini instrumen hokum yang melarang hukuman mati dijadikan sebagai hokum terberat dalam pengadilan di dunia ini.
NO Instrumen Hukum Penjelasan Keterangan
1. Universal Declaration of Human Rights, tahun 1948 Pasal 3 Hak untuk hidup
2. Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights- ICCPR), tahun 1966 Pasal 6 Derivasi dari DUHAM bahwa hak untuk hidup termasuk dalam non derogable rights atau hak
yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apapun Hingga 2 November 2003, tercatat 151 negara telah meratifikasi
3. Second Optional Protocol of ICCPR aiming of The Abolition of Death Penalty, tahun 1990 Instrumen ini bertujuan untuk penghapusan hukuman mati Hingga saat ini, tercatat 50 negara telah meratifikasi
4. Protocol No. 6 European Convention for the Protection Human Rights and Fundamental Freedom, 1950 (berlaku
mulai 1 Maret 1985 Instrumen ini bertujuan untuk penghapusan hukuman mati di kawasan Eropa
5. The Rome Statute of International Criminal Court 17 Juli 1998 Pasal 7 Pasal 7 Instrumen ini tidak mengatur hukuman mati sebagai salah satu bentuk hukuman Hingga saat ini, tercatat 94 negara telah meratifikasi
Sumber, www:imparsial.org
HUKUMAN MATI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH
1) Tujuan Pemidanaan
Dalam istilah bahasa Arab hukuman dikenal dengan katauq’bah yang berarti siksa atau hukuman, yaitu hukuman atas perbuatan yang melanggar ketentuan Syari’ yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat. Sementara dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata punishment, yang berarti a penalty imposed on an offender for a crime or wrongdoing (hukuman yang dijatuhkan kepada pelanggar kejahatan atau melakukakan kesalahan), sedangkan hukuman menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, adalah siksa dan sebagainya yang dikenakan kepada orang yang melanggar undang-undang dan sebagainya; atau keputusan yang dijatuhkan oleh hakim.
Secara istilah hukuman sebagaimana dikemukakan oleh Abd al-Qadir Audah,
Artinya: Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat, karena adanya pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan syara’.
Para ahli hukum Islam mengklasifikasi tujuan-tujuan dari syariat didasarkan kemashlahatan tingkat dharuri (primer), Hajji (skunder), dan tahsini (tersier).
1) Menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup (Dharuri).
Adalah segala sesuatau yang diperlukan dan harus ada untuk tegaknya kehidupan manusia. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan ketidaktertiban di mana-mana. Kebutuhan hidup yang primer ini (dharuriyat), dalam tradisi hukum Islam disebut dengan istilah al-maqasid al-khamsah, yaitu: agama, jiwa, akal pikiran, keturunan, dan hak milik. Syariat telah menetapkan pemenuhan, kemajuan, dan perlindungan tiap kebutuhan itu, serta menegaskan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengannya sebagai ketentuan yang esensial.
2) Menjamin keperluan hidup (hajjiyat).
Ini mencakup hal-hal penting untuk menghindari kesukaran, yaitu berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan kerja keras dan beban tanggung jawab mereka. Ketiadaan berbagai fasilitas tersebut mungkin tidak menyebabkan kekacauan dan ketidaktertiban, akan tetapi dapat menambah kesulitan bagi masyarakat.
3) Membuat berbagai perbaikan (tahsini), yaitu hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan sosial dan menjadikan manusia mampu berbuat dan mengatur urusan hidup lebih baik (keperluan tersier) dibenarkan oleh adat kebiasaan dan termasuk dalam kahlaq mulia.. Ketiadaan perbaikan-perbaikan ini tidak membawa kekacauan sebagaimana ketiadaan kebutuhan-kebutuhan hidup; juga tidak mencakup apa-apa yang perlu untuk menghilangkan berbagai kesulitan dan membuat hidup menjadi mudah. Perbaikan adalah hal-hal yang apabila tidak dimiliki akan membuat hidup tidak menyenangkan bagi para intelektual.
Sedangkan tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syari’at Islam ada dua, yaitu pencegahan dan pengajaran atau pendidikan.
Pencegahan ialah menahan pelaku agar tidak mengulangi perbuatan jarimahnya atau agar ia tidak terus menerus melakukannya. Disamping itu juga sebagai pencegahan terhadap orang lain agar ia tidak melakukan perbuatan jarimah yang serupa.
Jarimah atau perbuatan-perbuatan yang mempunyai implikasi hukum dapat berupa pelanggaran terhadap larangan atau meninggalkan kewajiban. Dalam keadaan seperti itu boleh jadi hukuman meninggalkan kewajiban jauh lebih berat, karena tujuan penjatuhan hukuman pada meninggalkan kewajiban ialah memaksa pelaku untuk mengerjakan kewajiban.
Sedangkan soal pencegahan, besarnya hukuman harus sedemikian rupa sehingga tercukupi tujuan hukuman tersebut, tidak boleh lebih dari batas yang diperlukan, dengan demikian maka terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Tidak heran jika hukuman dapat berbeda-beda terutama pada hukuman ta’zir, sesuai dengan bentuk perbuatannya dan kondisi pelakunya.
Adapun hubungannya denga pengajaran dan pendidikan adalah bahwa hukuman memiliki tujuan utama yaitu mengusahakan kebaikan terhadap diri pelaku, sedemikian rupa sehingga penjauhan diri manusia terhadap jarimah merupakan kesadaran pribadi dan kebenciannya terhadap jarimah, bukan karena takut akan hukuman.
2) Hukuman mati dalam teks Islam
Syekh Wahbah az-Zuhaili membagi hukuman dalam Islam menjadi dua bentuk, yaitu: hukuman akhirat dan hukuman dunia
Hukuman akhirat merupakan kehendak Allah Swt, adalah hukuman yang benar (haq) dan adil (‘adl), ia dapat berbentuk azab atau ampunan dari-Nya. Adapun hukuman dunia menurutnya ada dua macam pula, yaitu: hudud dan ta’zir.
Hudud adalah hukuman-hukuman yang telah ditentukan bentuknya oleh Syari’ dengan nash-nash yang jelas. Hukuman had menurut Hanafiyah ada lima macam yaitu, had zina, had qadzf, had pencurian, had minum hamr, dan had mabuk. Sedangkan menurut jumhur ulama selain Hanafiyah ada tujuh macam yaitu had zina, had qadzf, had pencurian, had hirabah, had mabuk-mabukan, had qisas, had riddah.
Ta’zir adalah hukuman yang tidak ditentukan oleh syara’, tetapi bentuk dan ketentuannya diserahkan kepada wali al-amr (negara) dengan memperhatikan perbedaan waktu dan tempat.
Hukuman mati merupakan salah satu alternative hukuman yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana hudud. Namun demikian hukuman mati hanya diberikan kepada empat pelau hudud, yakni pezina muhson, pembunuhan sengaja, hirobah, dan murtad.
1) Pezina Muhson
Pelaku zina yang sudah kawin (muhson), sanksinya dirajam, yakni dilempari batu sampai mati. Hukuman rajam ini semua ulama sepakat dengan banyak hadits yang mengisyaratkan itu, namun yang mbedakannya adalah apakah sebelum dirajam itu didera atau tidak.
Menurut jumhur Ulama, orang yang harus dihukum rajam itu tidak didera. Sedang menurut al-Hasan al-Bashri, Ishaq, Ahmad dan Dawud, seorang yang pernah menikah dan melakukan zina dengan wanita lain maka sanksi hukumnya jilid kemudian dirajam (dicambuk kemudian dilempari batu). Hukuman tersebut dikenakan pada laki-laki dan perempuan. Karena Islam sangat menghargai kehormatan diri dan keturunan, maka sanski hukum yang sangat keras ini dapat diterima akal sehat. Bukankah secara naluriah manusia akan berbuat apa saja demi menjaga dan melindungi harga diri dan keturunannya. Hukuman rajam ini jika diterapkan, sangat kecil kemungkinannya nyawa terpidana dapat diselamatkan.
Hukuman bagi pezina telah ditentukan oleh al-Qur’an dan Hadist. Bagi pelaku zina ghaoru muhson (yang belum menikah) didasarkan pada QS An-Nur:2,
Artinya: perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
Sedangkan bagi orang yang sudah menikah (muhsan) hukumannya menurut para ahli hukum Islam adalah rajam (dilempar batu) sampai mati. Hukuman dera adalah hukuman had, yaitu hukuman yang sudah ditentukan oleh syara’. Oleh karena itu, hakim tidak boleh mengurangi, menambah, menunda pelaksanaanya, atau menggantinya dengan hukuman yang lain.
Hukuman Zina gair muhsan, selain didera harus diasingkan selama satu tahun, hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, dan Turmuzi.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa pezina gair muhsan, dikenai hukuman dera seratus kali, yaitu ayat al-Qur’an dan hadis di atas, jumhur ulama yang terdiri atas Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad berpendapat bahwa hukuman pengasingan harus dilaksanakan bersama-sama dengan hukuman dera seratus kali. Dengan demikian, hukuman pengasingan termasuk hukuman had, dan bukan hukuman ta’zir. Dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ubadah Ibn Samit, yaitu:
Artinya: Jejaka dengan gadis hukumannya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun.
Disamping hadis tersebut, jumhur ulama juga beralasan dengan tindakan sahabat antara lain Sayidina Umar dan ali, yang melaksanakan hukuman dera dan pengasingan ini, dan sahabat-sahabat yang lain tidak mengingkarinya. Dengan demikian maka hal ini bisa disebut ijma’.
2) Pembunuhan Sengaja
Pelaku pembunuhan berencana (disengaja), sebagaimana teks al-Qur’an menyatakan:
Artinya: Dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (QS. Al-Nisa” [4]: 93).
Orang yang membunuh orang Islam (tanpa hak) harus diqisas (dibunuh juga). Jika ahli-ahli waris (yang terbunuh) memaafkannya, maka pelaku tidak diqisas (tidak dihukum bunuh) tetapi harus membayar diyat (denda) yang besar, yaitu seharga 100 ekor unta tunai yang dibayarkan pada waktu itu juga.
3) Perampokan (al-hirabah)
Al-hirabah adalah perampokan atau pengacau keamanan. Mengenai definisi hirabah ulama berbeda-beda dalam mendefinisikannya namun pada intinya sama. Para ulama fiqh, sebagaimana dijelaskan Wahbah, berbeda pendapat dalam mendefinisikan hirabah.
Definisi hirabah menurut Hanafi adalah ke luar untuk mengambil harta dengan jalan kekerasan yang realisasinya menakut-nakuti orang yang lewat di jalan atau mengambil harta, atau membunuh orang.
Sedangkan Syafi’iyah definisi hirabah adalah:ke luar untuk mengambil harta, atau membunuh, atau menakut-nakuti, dengan cara kekerasan, dengan berpegang kepada kekuatan, dan jauh dari pertolongan (bantuan).
Menurut Imam Malik, hirabah adalah: mengambil harta dengan tipuan (taktik), baik menggunakan kekuatan atau tidak. Golongan Dzahiriyah memberikan definisi yang lebih umum, dengan menyebut pelaku perampokan sebagai berikut: Perampok/Muhariib adalah orang yang melakukan tindak kekerasan dan mengintimidasi orang yang lewat, serta melakukan perusakan di muka bumi.
Imam Ahmad dan Syi’ah Zaidiyah memberikan definisi yang sama dengan definisi yang dikemukakan oleh Hanafiyah, sebagaimana telah disebutkan.
Hukuman bagi jarimah ini ditegaskan dalam al-Qur’an sebagai berikut:
Atinya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (Al-Maidah [5]: 33)
4) Pelaku Murtad
Riddah dalam arti bahasa adalah yang artinga kembali dari sesuatu ke sesuatu yang lain. Sedangkan dalam kamus al Munawwir riddah berasal dari kata: yang artinya menolak dan memalingkannya. Landasan hukuman mati untuk orang murtad dijelaskan dalam hadis Nabi:
Artinya: dari Ibn Abbas ra. Ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: barang siapa menukar agamanya maka bunuhlah ia. (H.R. Bukhari)
Dalam hadits lain disebutkan:
Artinya: Dari Aisyah RA.telah bersabda Rasulullah SAW: a�?Tidak halal darah seorang muslim kecuali orang yang membunuh jiwa sehingga karenanya ia harus dibunuh, atau orang yang berzina dan ia muhshan, atau orang yang murtad setelah tadinya ia Islam. (H.R. Ahmad)
Dua hadits diatas menjelaskan bahwa murtad termasuk salah satu jenis tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati.
Untuk selain empat hal di atas ada jenis ta’zir yang dikenai hukuman mati, misalnya untuk tindak pidana spionase (mata-mata) dan residivis yang sangat berbahaya.
Oleh karena hukuman mati sebagai hukuman ta’zir ini merupakan pengecualian maka hukuman tersebut harus dibatasi dan tidak boleh diperluas, atau diserahkan kepada hakim, eperti halnya hukuman ta’zir yang lain. Dalam hal ini penguasa (ulil amri) harus menentukan jenis-jenis jarimah yang dapat dijatuhkan hkuman mati.
3) Eksekusi Hukuman Mati
Penetapan pelaksanaan hukuman mati dalam Hukum Pidana Islam sangat beragam tergantung si pelaku yang akan di ekskusi. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut:
Untuk Tindak Pidana Zinah Muhshan
Para ulama sepakat, bahwa hukuman yang dikenakan atas diri pelaku zina muhshan (janda, duda, laki-laki yang masih beristri atau istri yang masih bersuami) adalah wajib dirajam sampai mati. Caranya, orang yang berzina tersebut diletakkan di suatu tempat, diikat atau dikubur setengah badannya lalu dilempari batu.
i?? Untuk Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (sengaja)
Para fuqaha sepakat, bahwa wali korban bisa melaksanakan hukuman pembunuhan terhadap pelaku (qishas), namun dengan syarat harus dengan pengawasan penguasa, sebab dalam pelaksanaan memerlukan ketelitian dan jangan sampai berlebihan.
Dikalangan para ulama tidak ada kesepakatan cara atau teknis pelaksanaannya. Menurut Hanabilah dan pendapat yang sohih dari kelompok hanabilah, qishas pada jiwa harus dilaksanakan dengan menggunakan pedang, baik tindak pidana pembunuhannya dilakukan dengan pedang maupun dengan alat yang lainnya, dan bagaimanapun cara atau bentuk perbuatannya.
Menurut Malikiyah dan Syafi’iyyah, orang yang melakukan pembunuhan harus diqishas atau dibunuh dengan alat yang sama dengan yang digunakan untuk membunuh korban dan cara yang digunakannya.
Untuk Tindak Pidana Hirabah
Ada dua hukuman mati yang dijatuhkan kepada pelaku hirabah yaitu:
1. Hukuman mati biasa. Hukuman ini dijatuhkan kepada perampok (pengganggu keamanan) apabila melakukan pembunuhan.hukum ini merupakan hukum had bukan merupakan hukum qishas. Oeh karena itu hukuman ini tidak boleh dimaafkan.
2. Hukuman mati disalib. Hukuman ini dijatuhkan apabila perampok melakukan pembunuhan dan merampas harta benda. Jadi, hukuman tersebut dijatuhkan atas pembunuhan dan pencurian bersama-sama, dan pembunuhan tersebut merupakan jalan untuk memudahkan pencurian harta.
Untuk Tindak Pidana Riddah (Murtad)
Mengenai ketentuan cara hukuman mati untuk orang murtad tidak dijelskan, namun cara pelaksanaan pidana mati dalam Islam ada dua pendapat:
1. Pendapat Abu Hanifah bahwa pidana mati dilaksanakan dengan jalan memenggal leher dengan pedang, atau senjata semacamnya.
2. Pendapat syafi’i dan maliki bahwa pidana mati dilaksanakan dengan berbagai cara, tapi harus mempunyai pembatasan.
NILAI-NILAI KEADILAN DALAM HUKUMAN MATI
Prokontra tentang pemberlakuan hukuman mati di negeri kita tidak pernah akan selesai, mengingat perbedaan cara pandang dalam melihat hukuman mati. Namun pada tuilisan ini, penulis tidak bermaksud menyelesaikan pro-kontra. Sebaliknya tulisan ini bermaksud mengungkap nalai-nilai keadilan yang menjadi pokok persoalan pada perdebatan pro-kontra hukuman mati.
Dalam hukum pidana dikenal beberapa teori mengenai tujuan pemidanaan, antara lain, teori absolut (teori pembalasan), teori relatif (teori prevensi) dan teori gabungan. Teori absolut (pembalasan) menyatakan bahwa kejahatan sendirilah yang memuat anasir-anasir yang menuntut pidana dan yang membenarkan pidana dijatuhkan. Teori pembalasan ini pada dasarnya dibedakan atas corak subjektif yang pembalasannya ditujukan pada kesalahan si pembuat karena tercela dan corak objektif yang pembalasannya ditujukan sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakukan orang yang bersangkutan.
Teori relatif (prevensi) memberikan dasar dari pemidanaan pada pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh sebab itu tujuan dari pemidanaan adalah menghindarkan (prevensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Sedangkan teori gabungan mendasarkan jalan pikiran bahwa pidana hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun pada semua unsur yang ada.
Dalam kasus hukuman mati, di mana Indonesia masuk pada 55 negara yang masih memberlakukan hukuman mati, hukuman mati menjadi salah satu pilihan hukuman. Bagi para pakar hukum Indonesia, hukuman mati memiliki nilai-nilai universal yang tidak bertentangan dengan HAM. Karena pelaksanaan hukuman mati merupakan perintah undang-undangan, sehingga masuk kategori alasan penghapus pidana pembenar (wetterlijk voorshrift).
Membunuh, merajam, melukai bahkan menahan dalam kondisi normal merupakan perbuatan yang melanggar HAM, namun karena dilakukan atas perintah undang-undang maka perbuatan tersebut sah demi hukum.
Hukuman mati bukanlah semata sebagai pembalasan bagi pelaku tindak pidana berat, namun juga sebagai upaya menjaga dan menegakkan HAM. Konsep hifdzu al-nafs sebagaimana dikenal dalam ushul fiqh, berarti menjaga jiwa seseorang dari tindakan yang akan menghilangkan nyawa atau kehormatan seseorang.
Dalam literatur-literatur Arab Islam, HAM dalam pengertian kontemporer belum dikenal, bahkan tidak termasuk dalam apa yang difikirkan dalam peradaban Arab maupun peradaban-peradaban lainnya. Istilah al-huquq al-insan al-asasi yang dikenal dalam fiqih modern, belum dikenal pada generasi awal. Istilah ini muncul belakangan setelah jadi kontak Islam dengan Barat pada awal abad XX, kendati demikian, materi dan substansi HAM telah menjadi bahasan Fuqaha, dengan konsep dan istilah tersendiri sesuai dengan khazanah intelektual yang dimilikinya.
Di antara konsep yang relevan dengan HAM adalah rumusan fuqaha tentang al-dharuriyat al-khamsah atau biasa dikenal dengan maqA?shid al Syar’i berdasarkan analisi fuqaha, bahwa tujuan syariat adalah memelihara kebebasan beragama (hifz ad-din), memelihara diri atau menjaga kelangsungan hidup (hifz al-nafs),akal (hifz al-‘Aql),keturunan (hifz al-nasl), dan memelihara harta (hifz al-amwal), yakni menjaga hal yang lima.
Pemaknaan al-dharuriyyat al-khomsah ini dalam perspektif HAM dimaknai sebagai berikut:
Hifzhu al-ddin, berarti hak untuk beragama dalam berkerpercayaan, serta mengamalkan ajaran sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu, selain itu, berarti pula bahwa setiap orang berkewajiban memelihara dan melindungi hak orang lain untuk beragama dan berkepercayaan sesuai dengan pilihannya.
Hifzhu al’aql berarti hak untuk memelihara dan mengembangkan akal pemikiran. Termasuk dalam pengertian ini adalah hak memperoleh pendidikan, serta hak mendapatkan dan mengekspresikan hasil pendidikan serta hak mendapatkan perlindungan atas berbagai hasil karya dan kreativitas intelektual lainnya.
Hifzhu an-Nafs, adalah hak untuk mendapatkan perlindungan keselamatan jiwa, ini berarti bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan memperoleh kehidupan yang layak, mendapatkan jaminan kesehatan, keamanan dan kesejahteraan.
Hifzhu al-nasl wa al-a’ardl, berarti hak untuk berkelurga, hak memperoleh keturunan (reproduksi), hak betempat tinggal yang layak, serta hak memperoleh perlindungan kehormatan.
Hifzhu al-mA?l, adalah hak untuk memperoleh usaha dan upaya yang layak, memperoleh jaminan perlindungan atas hak miliknya dan kebebasan mempergunakannya untuk keperluan dan kesejahteraah hidupnya.
Tentunya dalam menerapkan hukuman mati juga melalui proses hukum acara yang teliti. Audah mensyaratkan tiga hal yang harus diperhatikan dalam memutuskan hukuman. Pertama, ruknu al-syar’i (legalitas), kedua ruknu al-Madi (perbuatan pidana), dan ketiga ruknu al-Adabi (kondisi pelaku).
Apabila memenuhi tiga kriteria yang disaratkan dalam hukum pidana Islam di atas, maka pelaku kejahatan demi hukum harus dikenaui hukuman mati.
Penutup
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan beberapa hal di antaranya:
Hukuman mati bukanlah pelanggaran hukum, karena penerapan hukuman mati ditegakkan dalam rangka melindungi lembaga-lembaga kehidupan. Hidup ini merupakan HAM bagi setiap orang, maka negara atas nama hukum melindungi warganya dari peristiwa-peristiwa hukum yang merugikan masyarakatnya.
Dalam Islam hukuman mati, terdapat dalam empat kasus, yaitu yang melakukan zina mukhshan, membunuh dengan sengaja, hirabah dan murtad (keluar dari Islam). Dalam Hukum Islam Juga dikenal hukuman mati untuk ta’zir yaitu apabila hukuman mati tersebut dikehendaki oleh umum, misalnya untuk spionase (mata-mata) dan residivis yang sangat berbahaya.
Semoga hukuman mati bisa diterapkan sesuai dengan maqashid syari’ahnya.
DAFTAR PUSTAKA
A’udah, Abdul Qadir, At-Tarikh al-Jina’iy al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wahi’y, II, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1994.
Al-Bukhari, Muhammad ibn Isma’il, Shahih Bukhari, jihad, CD. Hadits Syarif.
Dahlan, Abdul Aziz, ed., Ensiklopedi Hukum Islam 6, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2001.
Darmaputera, Eka, Hukuman Mati Pro-Kontra, (Sinar Harapan 4 Oktober 03)
Hamzah, Andi, dkk., Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan Masa Depan, Jakarta: Balai Pustaka, 1985.
Hamzah, Andi, Hukum Pidana Mati di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999).
Hosein, Nadhir, KUHP dan Syariat Islam, dalam www:reformasikuhp.org, 7 April 2009.
Husein, Syahruddin, Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia, Digitized by USU digital library, 2003,
Imam Ahmad, Musnad Ahmad,
Jabiri, Muhammad Abed, Ham Antara Partikularasi dan Universalitas dalam Syura: Tradisi, Partikularitas dan Sekularitas, Yogyakarta, LKIS, 1997.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003
Mulya Lubis, Todung dan Lay, Alexander, Kontroversi Hukuman Mati, (Jakarta: Kompas, 2009)
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: pustaka Progresif, 1996.
Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 32. Lebih jelas bisa dilihat dalam .
Neufeldt, Victoria, Webster’s New Word Dictionary, New York: Macmillan company, 1996.
Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi III, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Rafiuddin, Moh, Pro ontra Hukuman Mati (Suara Merdeka, 10 Oktober 2007).
Rasyid, Chainur, SH. Prof., Dasar-dasar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2000.
Rifai, Edy, Hukuman Mati dari Masyarakat Tradisional hingga Modern (www.kompas.com, 30 Oktober 2007).
Roger Hood, The Death Penalty: A World-wide Perspective, (Oxford:Clarendon Press, 1996)
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid Analisa Fikih Para Mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, 2007.
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Beirut Dar al-Fikr, 1980.
Santoso, Topo, Perlindungan HAM dalam Hukum Pidana (www: pemantauperadilan.com)
Sholehudin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Doble Track System & Implementasinya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004,
Suryadinata, Endang, Paradiks Hukuman Mati (www:radartimika.com/10-7-08)
Syatibi, Abi Ishaq, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah (Beirut: Dar al-Fikr, tt.).
www:imparsial.org/publication/download.php/hukum_mati_ind.pdf,
Zuhailiy, Wahbah, al-Fiqh al-Islam wa al-Dillatuh, Damaskus: Daar al-Fikr, 1997
Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus: Dar Al-Fiqr, 1989.