Oleh: Dr. H. Muhammad Saifullah, M.Ag.
ﻟَﻴْﺲَ اﻟﻐﻨﻰ ﻋَﻦْ ﻛَﺜْﺮَﺓِ اﻟﻌَﺮَﺽِ، ﻭَﻟَﻜِﻦَّ اﻟﻐِﻨَﻰ ﻏِﻨَﻰ اﻟﻨَّﻔْﺲِ
Hakikat kaya bukan dari banyaknya harta, namun kekayaan jiwa .” (HR Bukhari).
Seorang yang kaya raya meninggal dunia, dan saat itulah biografinya ditutup. Maka anak-anaknyalah yang memperoleh ‘keberkahan hidup’ karena memperoleh warisan banyak. Apa yang diperoleh orang yang meninggal, adalah sederetan sejarah panjang hidupnya yang gigih mencari uang, Namun sayangnya, ia tak sempat menginfaqkan, menghibahkan, dan mewakafkan sebagian hartanya. Biografinya hanya menceritakan bahwa ia seorang yang kaya raya, rumahnya yang besar, tinggi dan mewah yang dapat membuat begitu tamu masuk ke dalamnya menjadi lupa dimana pintu keluarnya, pintu gerbongnya dijaga tiger dan ninja, istrinya berbaris rapi di garasi, mulai dari Livina, Lamborginy, Bugatty dan Ferrary. Orang seperti ini sejatinya adalah miskin jiwa, karena tidak tahu bagaimana mentasarufkan hartanya.
Hadis dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika manusia memiliki dua jurang berisi uang maka ia akan mencari jurang berisi uang yang ketiga. Tidak ada yang dapat memenuhi perut manusia kecuali tanah. Dan Allah menerima tobat orang yang bertobat.” Hadis ini menyentil orang-orang bersikap rakus dan mengutamakan kepentingan duniawi. Jika memungkinkan maka pendapatan akan semakin ditambah, meskipun ia belum sempat menyisihkan pendapatan sebelumnya untuk orang lain. Sehingga pendapatan jalan terus, sementara pengeluaran berhenti atau berjalan merayap.
Islam mengajarkan bahwa “Hakikat kaya bukan dari banyaknya harta, namun kekayaan jiwa”. Yang dimaksud dengan kekayaan jiwa adalah perasaan dalam jiwa atau diri seseorang yang senantiasa merasa cukup atas apa yang diberikan Allah SWT kepadanya. Dalam term lain, kekayaan jiwa ini disebut dengan Qana’ah. Menurut Ibnu Qoyyim kekayaan jiwa adalah keistiqomahan dan konsistensi jiwa diatas hal yang disenangi, bersih dari ambisi kepentingan duniawi dan keterbebasan diri dari sikap riya. Orang yang demikian akan merasakan kenikmatan jiwa berupa kesenangan, kebahagiaan dan kegembiraannya dikala melaksanakan penghambaan (ubudiyyah) kepada Allah SWT.
Kekayaan jiwa juga dimaknai dengan ladang terbesar yang wajib disyukuri setiap waktu. Kekayaan jiwa mampu melakukan banyak keajaiban. Dengannya, seseorang akan mampu melakukan perintah Allah di saat manusia lain mengingkari-Nya. Saudara akan mampu bersyukur saat orang lain kufur. Saudara merasa berkah disaat yang lain resah. Dengan kekayaan jiwa saudara tidak cukup dimata orang lain menjadi cukup. Kekayaan jiwa membuat saudara menjadi kaya di tengah kesempitan, sesuatu yang berat di mata orang menjadi ringan di hadapan saudara. Memaafkan adalah pilihan terbaik saudara saat yang lain mengukir rasa dendam. Maka kekayaan jiwa adalah kekayaan sejati. Subhanallah.
The Power of Giving di masa pandemi, akan membuat dunia kita menjadi tempat yang lebih damai, harmonis, dan produktif. Kekuatan memberi akan membantu saudara menemukan di mana pemberian saudara sendiri dapat memiliki dampak terbesar. Saudara akan menyadari bahwa cara terbaik untuk menemukan kebahagiaan adalah memberi kebahagiaan. Saudara akan menemukan semakin banyak yang saudara berikan, semakin banyak yang saudara miliki. Yang kita miliki adalah apa yang kita bawa mati.
Selamat menunaikan zakat, infaq dan shadaqah.
Di era pandemi Covid-19, Membatasai kebutuhan manusia pada hal-hal yang sangat mendesak, wajar, tidak berlebih-lebihan (isrof) akan berimpikassi pada cara seseorang dalam bekerja dan berbelanja. Ukuran bukan pada seberapa jumlah perolehan, tetapi pada nilai keberkahan yang terkandung di dalamnya. Harta melimpah bukan ukuran kekayaan, tetapi bagaimana harta intu memberi kebermaknaan dalam kejiwaan seseorang.
Berbagai profesi manusia yang tercipta di dunia adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia yang berimplikasi pada munculnya saling membutuhkan, saling menolong, serta saling bekerjasama. Ketika seseorang bekerja dan memperoleh hasil dari pekerjaannya pada hakekatnya telah menolong dirinya sendiri, keluarganya dan juga orang lain. Demikian juga ketika ia membelanjakan hasil usahanya berarti ia telah menolong orang lain yang menjual barang produksinya. Teori inilah yang melahirkan bahwa jangan sampai besar pasak daripada tiang, jangan sampai pengeluaran seseorang melebihi pendapatannya. Peribahasa ini sebagai warning dalam mengelola keuangan.
Esensi peribahasa ini adalah mengajarkan keseimbangan antara yang tererima dan yang dibelanjakan. Demikian juga pentingnya keseimbangan antara merengguk kebahagiaan duan dan akherat sebagaimana dalam surat al Jumuah