Amanah, itulah kata yang mahal untuk diperjualbelikan sekarang ini khususnya menjelang pemilu legislative 2009 nanti. Beberapa bulan lagi adalah akhir dari masa jabatan reguler lima tahunan kekuasaan politik di negeri kita dengan berakhirnya jabatan presiden/wakil presiden dan anggota-anggota legislatif.
Perjalanan di akhir masa lima tahunan politik di negeri ini ditandai dengan berbagai perilaku politik yang kurang mencerminkan budaya timuran yang menekankan unggah ungguh. Betapa tidak, politik uang seakan menjadi tradisi di kalangan masyarakat politik kita. Dari pemberian “sangu” pada sebuah pertemuan politik antara calon legislative dengan konstituennya, serangan fajar dan serangan dhuha yang dinanti-nanti para pemilih di berbagai kalangan masyarakat, hingga jual beli nomor urut caleg (maaf, sebelum ada keputusan MA), tidak lagi menjadi barang rahasia, tetapi hal yang lumrah dalam menggapai cita-cita untuk bisa mendapatkan kekuasaan di masa sekarang ini.
Bahkan politisi yang telah mendapatkan keuasaan juga tak luput dari isu kong kalikong dengan pengusaha dan pegawai departemen. Abdul Hadi yang politisi PAN misalnya harus berhadapan dengan KPK akibat perilaku suap dalam mendapatkan keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya.
Itulah sebagaian wajah politisi di negeri ini yang oleh patainya digadang-gadang sebagai tokoh masa depan yang bisa melakukan perubahan bagi masa depan bangsa dan Negara Indonesia.
Aspirasi masyarakat
Sudah sewajarnya, apabila partai politik sebagai payung para politisi bisa memberikan perhatian terbaik bagi konstituennya. Masyarakat tidak lagi dijadikan sebagai bulan-bulanan politik, yang disapa oleh partai politik pada saat menjelang pelaksanaan pilleg dan pilpres seperti waktu sekarang ini.
Meski tidak seluruhnya, tetapi masyarakat Indonesia sudah melek politik, sehingga cara dan pola rekrutment politik harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Kampanye massal dengan mendatangkan masyarakat dalam sebuah petemuan misalnya, tidak lagi menarik perhatian masyarakat. Begitu juga dengan memasang gambar di sepanjang jalan seperti sekarang ini justru menambah beban biaya calon legislative, layaknya iklan produk makanan atau minuman.
Banyaknya iklan partai politik seperti janji menurunkan harga sembako, ketersediaan swa-sembada pangan, kesejahteraan masyarakat, turunya harga BBM tiga kali setahun, keberhasilan budget anggaran pendidikan 20% dan sebagainya, menambah daftar kejengkelan masyarakat terhadap partai politik dan polisi. Masyarakat tidak lagi sami’na wa atha’na dengan iklan-iklan khayalan tersebut. Bahkan iklan tersebut memutarbalikkan fakta yang seharusnya disampaikna kepada masyarakat luas.
Setali tiga uang partai politik dan politisi sama sama memberikan pembohongan kepada masyarakat. Fungsi pendidikan politik yang seharusnya diberikan oleh partai politik tinggal teori. Untuk itulah, dalam rangka menciptakan iklim politik yang sehat perlu dilakukan alternative elegan agar bangsa dan Negara kita terselamatkan dari politik dan politisi yang tidak amanah.
Amanah sebagai basis kekuasaan
Bebera fenomena menarik di atas merupakan cerminan dari system politi yang menekankan pada system patron klien yang berlebihan. Budaya politik uang atau politik transaksional yang terjadi di kalangan masyarakat, disebabkan oleh pemahaman yang diviatif atas patron klien antara caleg dan konstituen. Kalao caleg nantinya mendapatkan kekuasaan dan kekuasaan akan mendatangkan kesejahteraan, maka konstituen juga harus mendapatkan kesejahteraan instant dengan mendapatkan uang lelah atau apa saja namanya sebelum memilih calegnya.
Begitu juga dengan janji sembako murah atau swa sembada pangan dan pertanian harus diwujudkan sebelum masyarakat memilih calon legislative atau calon presidennya. Ini hitungan matematis yang bisa dilakukan oleh masyarakat umum, yang nota bene mempunyai hak suara dalam setiap event pemilu sekarang ini.
Untuk itu, dalam rangka membangun politik yang bersih dibutuhkan beberapa hal di antaranya kejujuran politis di dan kesiapan partai politik menjalankan fungsinya sebagai penyampai aspirasi masyarakat dan melakukan pendidikan politik pada mastyarakat.
Pertama, politisi memahami bahwa jabatan yang akan didapatkan sebagai amanah dari masyarakatnya. Dalam tradisi ilmu politik Islam, kekuasaan itu amanah bukan pilihan. Konsep taklif yang dikenal dalam hukum Islam menjadi sangat berarti dalam memahami konsep amanah. Sebagai seorang muslim berarti seorang mukallaf (orang yang terbebani), maka apabila mendapatkan jabatan berarti kita mendapatkan beban (amanah) yang harus dilaksanakan. Jabatan bukanlah pilihan atau hak yang selama ini dikembangkan dalam ilmu politik konvensional. Oleh karena itu ada ajaran agama yang melarang seseorang itu meminta jabatan (la tas alul imarah/janganlah kamu meminta jabatan).
Dengan konsep amanah, dalam posisi apapun seseorang pejabat berupaya untuk memnunaikan jabatan dengan baik. Jabatan dijalanan sesuai dengan harapan yang memberikan jabatan yakni masyarakat, bukan membebani masyarakat sebagai pemilik kekuasaan.
Kedua, setelah mendapatkan jabatan maka perlu dipertanggungjawabkan baik kepada sesama atau atasan, maupun kepada Tuhan Yang Maha Esa. Secara horizontal jabatan sebagai amanah masyarakat harus dipertangunggungjawabkan baik secara administrative amupun secara substantive.
Imam al-Mawardi dalam bukunya Al-Ahkam al-Sulthaniyyah (hukum-hukum pemerintahan), menyatakan bahwa politik itu bertujuan untuk mengatur dunia dan mengatur akhirat (siyasatut dunya wa haratsatul akhirat). Maka seorang politisi harus mempunyai dua tanggungjawab, yakni tanggungjawab kepada lembaga atau atasannya, dan tanggungjawab kepada Tuhannya di ahirat nanti.
Dengan dua landasan tersebut, seorang politisi bisa memerankan dirinya sebagai pelau politik sekaligus sebagai hamba Tuhan dalam segala perilaku kesehariannya. Semoga.