Dalam tradisi umat Islam di Indonesia, khususnya NU, penganut Aswaja biasanya didefinisikan sebagai orang yang mengikuti salah satu madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) dalam bidang Fiqh, mengikuti Imam al-Asy’ari dan Maturidi dalam bidang akidah dan mengikuti al-Junaydi dan al-Ghazali dalam bidang tasawwuf. Sejauh pengetahuan penulis, definisi ini pertama kali dirumuskan oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari sebagaimana tertuang dalam Qonun Asasi NU.
Secara doktrinal, pengertian Aswaja di atas sama sekali tidak salah. Pengertian ini merupakan definisi operasional yang ditujukan untuk memudahkan pemahaman Aswaja. Definisi ini memang diperuntukkan bagi mereka yang, karena profesi dan tingkat keilmuan yang dimiliknya, tidak mungkin melakukan penelitian kesejarahan terhadap Aswaja. Jadi untuk memudahkan pemahaman, maka disediakanlah jawaban yang praktis operasional. Ini seperti Nabi yang ditanya Malaikat Jibril tentang pengertian Iman, Islam dan Ihsan. Jawaban yang diberikan Nabi merupakan jawaban praktis operasional. Meskipun Nabi yakin persoalan iman tidaklah sesederhana seperti yang digambarkannya, Nabi tidak memberikan pengertian yang njlimet, abstract dan filosofis. Pengertian yang demikian ini bukan merupakan konsumsi masyarakat awam. Jadi kalau Nabi memberikan definisi yang susah difahami awam, malah justeru dapat mengkaburkan misi dakwah Islamiyahnya. Dengan demikian apa yang telah dilakukan oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dengan pemberian definisi operasional Aswaja di atas sebenarnya merupakan sikap yang sangat bijak, yang didasarkan atas kenyataan bahwa kebanyakan umat Islam di Indonesia saat itu belum memungkinkan untuk bisa dibawa ke alam pemikiran Aswaja sebagai sebuah manhaj al fikr
Pola pendekatan Aswaja sebagai manhaj bisa dilakukan dengan cara melihat setting sosio-politik dan kultural saat doktrin itu lahir. Dengan demikian, dalam konteks Fiqh, misalnya, yang harus dijadikan dasar pertimbangan bukanlah produknya melainkan bagaimana kondisi sosial politik dan budaya ketika Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali melahirkan pemikiran Fiqhnya. Dalam bidang teologi maupun Tasawwuf juga harus dilakukan hal yang sama. Bukan apa doktrin yang ditawarkan oleh al-Asy’ari dan al-Maturudi, al-Junaidi dan al-Ghazali, tetapi pertanyaannya bagaimana kondisi sosial politik maupun budaya yang telah melahirkan doktrin tersebut. Jika kita sepakat dengan proses kontekstualisasi ini, maka pemaknaan Aswaja jelas menghendaki kemampuan untuk melakukan pemaknaan kembali terhadap fakta-fakta sejarah yang melatar-belakangi lahirnya doktrin Aswaja.
Berangkat dari pola pendekatan di atas, yang paling penting dalam memahami Aswaja sebagai manhaj adalah menangkap makna dari latar belakang kesejarahan untuk kemudian disarikan menjadi sebuah karakter yang mendasari tingkah laku dalam ber-Islam, dalam bernegara dan berbangsa. Atas dasar inilah KH. Ahmad Siddiq (al-maghfur lah) benar sekali ketika merumuskan karakter Aswaja kedalam tiga sikap, yakni; tawasuth, itidal dan tawazun (pertengahan, tegak lurus dan keseimbangan). Ketiga karakter inilah yang menjadi kerangka acuan Aswaja baik dalam mensikapi permasalahan-permasalahan keagamaan maupun politik. Dan inilah yang sebenarnya menjadi inti dari cara memahami Aswaja sebagai sebuah manhaj al fikr.
Selain ketiga karakter di atas, sebenarnya terdapat satu karakter lainya yang jarang diungkap yakni watak Aswaja yang cenderung mementingkan stabilitas sosial. Watak ini sepintas memang dipandang kurang progresif dan bahkan terkesan stagnan. Ini sudah menjadi konsekuensi dari kelompok besar. Karena besarnya itulah gerakan Aswaja menjadi tidak lincah sebagaimana gerakan rasionalis Mu’tazilah atau gerakan ekstrimis Khawarij. Jadi persoalan yang selalu dihadapi kelompok pengikut Aswaja itu memang sangat kompleks, yakni bagaimana menciptakan stabilitas untuk kelompok masyarakat yang memiliki tingkat heterogenitas tingi.
Kesimpulan bahwa Aswaja memiliki karakter tawasuth, i’tidal, tawazun dan mementingkan stabilitas ini bukan tanpa bukti kesejarahan. Semuanya dapat dilacak melalui sejarah kemunculannya. Pertengahan abad kedua Hijriayah mungkin menjadi waktu yang tepat sebagai starting point pelacakan lahirnya Aswaja. Dianggap tepat karena masyarakat Islam saat itu terpecah menjadi beberapa faksi akibat perang Siffin, perang antara Imam Ali dan Mu’awiyah b. Abi Sufyan yang terjadi pada bulan Mei tahun 657.
Perang Sifin telah membuat masyarakat Muslim terpecah paling tidak menjadi empat kelompok, yakni kelompok Ali kw, kelompok Mu’awiyah, kelompok Khawarij dan kelompok Murjiah. Kelompok Murji’ah inilah yang sering disebut sebagai proto sunny atau cikal bakal Sunny. Ia merupakan kelompok mayoritas yang tidak mau terlibat dalam urusan politik praktis. Fungsi sosial mereka adalah penyeimbang diantara berbagai faksi yang bertikai. Mereka lebih menyibukkan pada gerakan moral dan kultural serta pengembangan ilmu pengetahuan. Diantara tokoh Sahabat Nabi yang menempatkan dirinya pada posisi netral adalah Abdullah b. Umar, Abi Bakrah, Imran b. Husein Muhammad b. Shalah, Sa’ad b. Abi Waqas dan lainnya yang pada saat terbunuhnya Usman b. Affan mulai menjauhkan diri dari urusan politik.
Pada masa Tabi’in, kelompok netralis ini masih tetap konsisten dengan gerakan-gerakan kulturalnya. Meskipun diantara mereka ada beberapa yang terjebak dalam watak ekstrim ke-murjiahan-nya, secara komunal mereka masih menjadi bagian dari kelompok mayoritas netralis. Imam Abu Hanifah (w. 150/767) saat menentang pendapat ekstim kelompok Khawarij memberikan simpati terhadap kalangan murjiah tersebut. Ia mengaku bahwa pendapatnya itu sama seperti pendapat Ahlul ‘Adli was Sunnah. Labih jauh Abu Hanifah mengatakan Berkenaan dengan julukan Murjit yang engkau berikan (sehubungan dengan pendapatku) maka apakah dosa dari orang-orang yang berbicara dengan adil (‘adil) dan yang oleh orang-orang yang menyimpang, sekalipun dijuluki demikian (‘adl)? Sebaliknya mereka ini (bukan Murjit-Murjit tetapi) adalah orang-orang penengah (‘adl) yang berada di jalan tengah (Rahman, 1984:5). Karena inilah al-Asy’ari dalam Maqalat al-Islamiyin (1980:138) memasukkan Abu Hanifah sebagai kelompok Murjiah.
Watak Aswaja yang sangat menekankan pada pentingnya arti keseimbangan serta stabilitas sosial bahkan lebih terlihat lagi dari suatu konsepsi keagamaan yang sangat mengedepankan makna konsensus (ijma’). Dari kata-kata Ahli Sunnah waljama’ah itu sendiri secara eksplisit menunjukkan bahwa kesepakatan sosial merupakan hal yang sangat penting dalam memahami Islam. Dengan penelitian sepintas terhadap al-Muwatha karya Imam Malik b. Anas misalnya, kita dapat langsung faham bahwa kesepakatan sosial mendapatkan ruang yang cukup leluasa. Setelah mengutip hadith Nabi, Imam Malik sering memberikan komentar yang merujuk pada praktek masyarakat Madinah. Komentar-komentar itu biasanya diiucapkan dalam rangkaian kata-kata qad madlat al-sunnah, al-sunnah indana, al-sunnah allati la ikhtilafa indana, al-amru almujtama alaih indana, al-amru alladhi la ikhtilafa fihi indana. Ini menunjukkan bahwa Imam Malik memandang kesepakatan sosial menjadi bagian dari mekanisme pemahaman keagamaan.
Proses pembentukan kesepakatan sosial yang terjadi secara alami ini kemudian disanggah oleh Imam al-Syafi’i. Ia tidak mau menggunakan tradisi yang hidup (kesepakatan sosial) sebagai sandaran untuk membangun hukum Islam. Ia kemudian mengambil langkah dengan cara melakukan formalisasi kesepakatan sosial ke dalam bentuk Ijma’. Kesepakatan sosial yang pada masa Imam Malik berorientasi ke depan dan terjadi secara informal (sukuti), menjadi ijma yang berorientasi ke belakang dan berwatak formal.
Bukan saat yang tepat untuk membicarakan secara detail pola-pola pendekatan Ushuli baik yang dilakukan oleh Imam Malik maupun al-Syafi’i. Dengan gambaran singkat di atas, kami hanya ingin menunjukkan bahwa baik Imam Malik maupun al-Syafi’i, meskipun berbeda secara mendasar, tatapi memiliki concern yang sama dalam mensikapi arti pentingnya sebuah jama’ah. Jadi meskipun Imam al-Syafi’i lah yang memotong proses pembentukan sunnah dalam pengertian tradisi yang hidup (living radition) dan telah menghentikan aktivitas ro’y sebagai alat untuk menafsirkan Sunnah Nabi menjadi Sunnah yang hidup, motivasinya jelas untuk tujuan stabilitas jama’ah (social stability). Bisa dibayangkan, betapa kacaunya pemahaman keagamaan jika Imam al-Syafi’i tidak melakukan hal demikian. Jadi konsep stabilitas jama’ah inilah yang menjadi watak Aswaja, dan inilah inti Aswaja sebagai sebuah metoda pemahaman keagamaan.
Kesimpulan
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa dengan munculnya berbagai macam kelompok yang mengatas-namakan pengikut Aswaja, maka Pemahaman Aswaja di kalangan warga NU sudah saatnya untuk dilakukan perubahan orientasi dari Aswaja sebagai doktrin menjadi Aswaja sebagai metoda pemahaman keagamaan. Hal ini penting dilakukan guna memberikan pemaknaan konteks kesejarahan yang benar terhadap Aswaja.
Karakter Aswaja yang tawasut, i’tidal, tawazun dan penekanannya pada stabilitas jama’ah itu secara historis ilmiyah dapat dipertanggungjawabkan. Karena ekstrimitas (tatharruf) tidak dikenal dalam sejarah Aswaja, maka aliran Islam keras yang mengklaim dirinya selaku penganut Aswaja bukan hanya paradoksal tetapi ahistoris.
*Disarikan dari makalah Ketua PWNU Jateng, Drs. H. Abu Hafsin, MA. Ph.D.