Dunia Keterpaksaan
Kalau saya hanya boleh mengerjakan apa yang saya suka, hidup saya akan berjalan ke arah yang berbahaya. Hidup saya sampai di hari ini, terutama di bagian-bagian yang saya syukuri, ternyata banyak berasal dari dunia keterpaksaan. Sebaliknya, sisi hidup saya yang lain, sisi yang membuat saya malu, kecewa dan nyaris saya sesali, adalah sisi yang berasal dari keasyikan dan suka cita. Bermalas-malasan dan keluyuran sungguh keasyikan saya kala itu. Itu sungguh kegiatan suka cita. Maka kini, saya sangat mewaspadai dua keadaan ini: keadaan terpaksa dan keadaan asyik bersuka cita. Dua keadaan ini sering membuahkan hasil yang sama-sekali tak kita duga.
Tulisan ini misalnya, adalah hasil keterpaksaan. Kadang berat sekali mengais-ais ide, harus menulis padahal mata sangat ingin tertidur, kadang saya menulis di ruang tunggu bandara, di sela-sela waktu menunggu giliran ceramah, kadang di dalam mobil saat berjalanan mendatangi undangan, kadang menjelang tidur karena jika tidak, esok hari sudah menunggu lain pekerjaan. Mengapa saya harus menulis di waktu-waktu yang demikian tidak cocok untuk menulis? Karena terpaksa! Dan keterpaksaan ini sudah saya jalani lebih dari 20 tahun, karena tulisan itu ditunggu oleh tabloid, ditunggu oleh radio. Di awal-awal karier saya sebagai menulis, saya berusaha mencari daya paksa itu sedemikian rupa. Saya mendekat-dekat senantiasa kepada calon pemaksa itu.
Kepada radio yang saya ingin kelak dia memaksa, saya sering mendengar siarannya, saya melihat kantornya dari jauh, lalu mendekat, lalu dolan ke studionya, lalu mengenal penyiarnya, pemimpinnya, dan kalau perlu pemiliknya. Butuh keberanian untuk berani diremehkan, disepelekan dan serba tak dianggap. Butuh keberanian untuk melakukan pekerjaan-pekrejaan yang dianggap rendah, bahkan hanya agar boleh berkawan.
Ketika waktunya tiba, saya beranikan untuk mengabarkan minat saya dalam menulis, dalam bersiaran. Tidak mudah. Tetapi minat itu tetap tak bisa saya sembunyikan. Akhirnya, di hadapan usaha yang terus-menerus, tak ada pintu yang tak dibukakan. Begitu juga dengan kegiatan saya menggambar kartun. Saya memaksa koran dan majalah di kala itu untuk memaksa saya menggambar di halamannya dengan cara mengirimkan gambar saya nyaris tanpa lelah.
Tak terasa, pihak-pihak yang saya paksa itulah yang kini menjadi pemaksa terbaik saya. Mereka memaksa saya menulis sampai hari ini dan paksa-memaksa ini sudah berlangsung di atas dua dekade. Hasil paksaan menulis itulah yang membuat saya terkejut di hari-hari ini. Saya terpaksa menghasilkan buku, penerbit terpaksa meneritkan buku saya, dan akhirnya saya malah terpaksa menerbitkan buku-buku saya sendiri. Kini saya juga dipaksa untuk bersiaran, berceramah dan kadang-kadang malah harus memberi tausyah seperti kiai. Malu rasanya, tetapi saya beranikan diri karena mulai menyadari hukum keterpaksaan ini. Carilah pihak-pihak yang bisa memaksa Anda berkreasi dan berproduksi lalu paksalah mereka untuk memaksa Anda dan nikmatilah buah keterpaksaan itu kelak ( Prie GS)