Terorisme dalam Pandangan Pesantren

Pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional di Indonesia merupakan asset pendidikan genuine bangsa Indonesia yang mampu bertahan hidup di tengah terpaan angin modernitas. Kemampuan ini tentu saja bukan sesuatu yang kebetulan, tapi pesantren memang memiliki elemen-elemen sub-kultur yang unik dan khas, baik pada supra maupun infra strukturnya.

Salah satu keunikan lembaga ini adalah independensinya yang kuat. Ia bebas dari segala bentuk intervensi luar. Lembaga ini, pada tingkat tertentu, bisa menjadi salah satu contoh self-governing school, atau autonomous school sekolah yang memilki otonomi yang kuat. Kyai dengan leluasa mengekspresikan ide-idenya dalam menjalankan semua aktifitas Pesantren dengan tujuan utama meningkatkan kemampuan santri. Untuk menjaga independensi ini, Pondok menyelenggarkan berbagai jenis kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan finansial. Pesantren juga menyelenggarakan pelatihan-pelatihan keterampilan bagi para santri, agar mereka dapat mandiri segera setelah selesai belajar, tanpa tergantung pada orang lain termasuk pemerintah. Keterampilan dasar yang biasa diberikan adalah, misalnya, perdagangan, industri rumah tangga, dan berbagai kegiatan yang mendatangkan income.

Keunikan lainnya nampak dari otonominya, seperti otonomi materi pengajaran (kurikulum), cara penyampaian materi pengajaran (metode), tempat (lokasi) pengajaran dan sebagainya. Titik sentral otonomi itu terletak pada figur kiai, sehingga kemampuan kiai-lah yang akan menentukan merah-hijau-nya pesantren. Sementara di sisi yang lain, para santri mempunyai ketundukan yang luar biasa terhadap sang kiai. Kiai bukan saja berfungsi sebagai transmitter ilmu-ilmu keagamaan tradisional tapi juga sebagai pembimbing spiritual.

Kenyataan seperti tersebut menimbulkan banyak kritik, terutama di tengah dunia yang terus berubah. Pesantren dianggap tertutup, otoriter, tidak demokratis karena kiai adalah segala-galanya. Kritik-kritik semacam ini tentu saja bukan sesuatu yang mengada-ada, tapi memang berangkat dari realitas yang dapat diindera, meskipun terkadang realitas yang nampak belum tentu menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi dengan pesantren.

Seiring dengan perkembangan zaman, wajah pesantren ynag kebanyakan tumbuh berkembang di masyarakat agraris sebagai komunitas masyarakat yang mandiri, tidak lagi mampu bertahan di tengah terpaan angin modernisasi. Tak sedikit pesantren-pesantren tradisional yang dihuni oleh beragam santri dengan berbagai latar belakang, harus bekerja maksimal demi untuk meningkatkan kapasitas santri dalam menghadapi berbagai isu global yang masuk di masyarakat Indonesia.

Salah satu isu kontemporer itu adalah isu terrorisme yang belakangan dituduhkan bersemai di berbagai pesantren di Jawa Tengah. Bahkan beberapa kelompok teroris yang berhasil dijaring kepolisian pernah menimba ilmu di berbagai pesantren. Tak ayal semua mata bangsa Indonesia tertuju pada proses pendidikan di lingkungan pesantren dan situasi sosial di kalangan masyarakat pesantren.

Betulkah bahwa pesantren memberikan dasar-dasar ilmu tentang kekerasan? Benarkah bahwa tokoh-tokoh pesantren mengajarkan ilmu-ilmu teroris. Itulah berbagai pertanyaan yang mengiringi perubahan image masyarakat terhadap pesantren sekarang ini.

Tulisan ini berangkat dari hipotesis bahwa pesantren sangat beragam warnanya. Seperti kata Gus Mus, ragam pesantren itu sama dengan ragam kiainya mengingat yang menentukan warna dan karakter sebuah pesantren adalah sang kiai yang mengasuh pesantrennya. Dari sekian ribu pesantren yang ada di Indonesia, pesantren yang masuk kategori sarang (mencetak) kader-kader teroris (kekerasan) tak lebih dari puluhan saja itu pun dengan data yang masih belum pasti.

Sekilas Terorisme

Setelah lebih 6 tahun pasca tragedi WTC, 11 September 2001, masalah terorisme masih saja menjadi isu hangat. Perhatian dunia untuk memerangi terorisme belum kendor. Sebelumnya tidak ada yang mengira mengira, kalau Indonesia dengan penduduk mayoritas Islam dan Islamnya dikenal sebagai Islam yang moderat dengan representasi ormas NU dan Muhamadiyah, ternyata bisa disebut sebagai sarang teroris. Dan ini terbukti dengan tragedi Bali, tragedi terdahsyat yang dilakukan kelompok teroris setelah tragedi WTC 2001.

Tentu saja, serangkaian tragedi pemboman ini merupakan pukulan yang dahsyat bagi bangsa Indonesia. Mungkin kalau tidak ada tragedi Bali dan rentetan pemboman lainnya, isu terorisme di Indosesia akan selalu diabaikan dan UU Terorisme tidak pernah dilegalkan. UU Terorisme selama ini selalu menjadi perdebatan di kalangan masyarakat karena dianggap akan mengembalikan kekuasaan militer dan mengancam kebebasan yang selama ini baru dinikmati masyarakat Indonesia. Peraturan ini dikhawatirkan akan merenggut demokrasi yang baru dibangun dan coba ditegakkan di bumi Indonesia tercinta ini.

Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim terbanyak di dunia mempunyai peran dan posisi yang sangat penting dalam rangka memberantas terorisme dengan cara menegakkan dan menjalankan kehidupan demokrasi dalam sistem negaranya. Peran ini bisa menjadi model dan rujukan negara-negara Islam yang kebanyakan sangat minim dan rendah responnya terhadap upaya penanganan terorisme.

Belum ada pengertian final tentang terorisme, baik di kalangan muslim maupun bangsa barat pada umumnya. Dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dinyatakan bahwa terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara, karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.[1]

Untuk itulah maka muncul Undang-Undang atau Perarturan Pemerintah Pengganti UU yang secara tegas menangani terorisme dengan memasukkan ke dalam tindak pidana khusus, yakni tindak pidana terorisme. Tentu pemerintah Indonesia tidak sendiri, karena Perpu ini merupakan rativikasi peraturan sejenis yang berlaku di tingkat internasional.

Menurut Departemen Pertahanan USA, terorisme adalah perbuatan melawan hukum atau tindakan yang mengandung ancamana dengan kekerasan dan paksaan terhadap individu atau hak milik untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik, agama dan idiologi. [2] Atau bisa diartikan sebagai tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berlatar belakang politik atau kekuasaan dalam suatu pemerintahan negara.

Bahkan belakangan terorisme diartikan dengan sangat luas dengan segala tindakan atau ucapan yang membuat orang lain takut. Wal hasil terorisme menjadi sebuah kata yang sangat menakutkan bagi siapa saja baik yang melakukan maupun orang yang mengalami tindakan terorisme. Gambaran ini menjadikan negara dalam hal ini pihak yang mempunyai kekuasaan pertahanan dan keamanan yakni militer merasa sangat diperlukan dalam upaya menangani berbagai upaya terorisme.

Dalam perspektif Islam garis keras, terorisme diartikan sebagai (irhab), menggetarkan musuh. Untuk itu mereka mengartikan terorisme menjadi bagian dari jihad fi sabilillah, menuju ridho Allah SWT. Tidak mengagetkan manakala sebagian para pelaku teroris di Indonesia menganggap dirinya sebagai mujahid fi sabilillah.[3]

Para penulis barat menyatakan bahwa terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Terorisme itu berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan karena terorisme bisa dilakukan secara terorganisir dan dalam waktu lama.

Dalam perspektif perang biasanya perang bersifat tiba-tiba dan targenya adalah militer. Sedangkan aksi terorisme dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelaku teroris, layak mendapatkan pembalasan yang kejam.

Profil Pondok Pesantren Al-Mukmin & Al-Ayariyah

Dalam sejarah pendidikan nasional, Pondok Pesantren mempunyai peran yang cukup signifikan dalam rangka menghantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka dan berkembang. Sejak sebelum era kemerdekaan, pesantren ikut berperan aktif terutama sebagai basis pergerakan santri dalam menggerakkan perjuangan bangsa Indonesia mengusir penjajah. Tercatat ribuan santri-santri pesantren yang telah gugur di medan perjuangan demi membela dan mempertahankan kemerdekaan. Di samping itu, pesantren juga berfungsi sebagai agent social of change (agen perubahan sosial) dalam masyarakat Indonesia.

Perkembangan berikutnya di era kemerdekaan, pesantren masih tetap menunjukkan fungsinya sebagai lembaga pengajaran dan pendidikan, lembaga dakwah dan pengkaderan ulama, sekaligus sebagai lembaga pelayanan umat. Tak sedikit peran sosial kemasyarakatan (fungsi kultural) yang diambil oleh pesantren seperti peran pendidikan, sosial dan pemgembangan ekonomi rakyat.

  1. Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki
  2. Sejarah Singkat

Pada mulanya Pondok Pesantren Al-Mukmin berawal dari kegiatan kajian selepas jum’at di Masjid Agung Surakarta. Pengajian yang berkembang lewat release Radio Dakwah Islam Solo ini, semakin hari semakin diminati oleh masyarakat. Kemudian untuk mengembangkan pengajian rutin mingguan tersebut, dibentuklah Madrasah Diniyah yang konsentrasi mengurus pengetahuan Agama Islam.

Dengan perkembangan tersebut, pada akhirnya Yayasan Pondok Pesantren Al-Mumin Ngruki secara resmi didirikan oleh Ustadz Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir tanggal 10 Maret 1972 di kampung Ngruki Sukoharjo. Tepatnya di dukuh Ngruki Desa Cemani Kecamatan Grogol Kab Sukoharjo. Sekarang ini pesantren ini dikenal sebagai pesantren Al-Mukmin Ngruki Solo.[4]

  1. Sistem Pendidikan

Sebagai alumni Pondok Modern Gontor, sistem pendidikan yang diambil oleh Ustadz Abu Bakar Basyir untuk pondok pesantren Al-Mukmin adalah sistem pendidikan yang berasal dari Pondok Modern Gontor. Salah satu sistem yang dipakai adalah sistem KMI (Kulliyyatul Mutaallimin al-Islamiyyah) yang diperkenalkan sebagai pengganti sistem pendidikan klasikal dan individual. Seperti kebanyakan sistem pendidikan baru, sistem KMI tidak langsung diterima oleh kalangan masyarakat. Bahkan sebagian malah meragukan keberadaannya yang menantang sistem pendidikan tradisional yang masih digunakan di pondok pesantren lain.

Perbedaan utama di antara sistem baru KMI ini dan sistem pendidikan tradisional yang diajar di pondok pesantren lain adalah sistem modern ini tidak menggunakan sistem pengajaran wetonan (massal) dan sorogan (individual). Para santri dididik dan diajarkan pada madrasah KMI yang berjenjang dari kelas satu sampai kelas enam, setaraf MTs dan MA. Kini santri kelas enam bisa mengikuti ujian persamaan dengan Madrasah Aliyah dibawah Department Agama.[5]

Seperti pesantren-pesantren modern lainnya, pesantren Al-Mukmin bukanlah pesantren salaf yang hanya mengembangkan ilmu-ilmu ke-Islaman klasik, seperti ilmu nahwu sharaf, ilmu taukhid, ilmu akhlaq, tarikh, tafsir, hadits dan sederet ilmu-ilmu klasik. Pesantren Al-Mukmin menerapkan double system yakni menerapkan pendidikan formal dan non-formal. Secara formal Al-Mukmin memberikan sekolah formal seperti:

  1. SLTP/MTs Al-Mukmin yang disyahkan dengan SK Kepala Kantor Departemen Agama Propinsi Jawa tengah Nomor.A/WK/5.C/MTs/001/1989. Melalui SK ini maka bagi santri-santri yang berminat untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dapat mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN).
  2. MA Al-Mukmin. Di tingkatan ini, santri akan menghdapi dua ujian akhir sekaligus; Ujian Akhir Kepesantrenan dan Ujian Akhir Nasional dengan mendapatkan Ijazah seperti MA pada umumnya.
  3. Kulliyatul Muallimin al-Islamy (KMI). Seperti MA, KMI juga mempunyai kewenangan untuk mengikuti Ujian Akhir Naional (UAN) setara dengan Madrasah Aliyah. Bedanya di KMI, ada materi khusus seperti; Fathul Kutub (analisakitab), Al-Bahtsu (karya tulis), Amaliyatu al-Tadris (praktek mengajar), dan al-Khutbah al-Arabiyah wa al-Injiliziyyah. Ma’had Aly atau Perguruan Tinggi setara dengan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri.

Sedangkan secara non-formal pengajian-pengajian kibab klasik diselenggarakan setelah shalat maghrib dengan metode ceramah, di mana kyai atau ustadz membacakan ceramah di depan para santri, para santri mendengarkan secara seksama.

  1. Kurikulum

Secara umum, kuriulum Pesantren Al-Mukmin banyak diambil dari dan dipengaruhi oleh Pondok Modern Gontor. Namun pada kenyataannya, urikulum KMI Al-Mukmin mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Daftar bidang studi dan mata pelajaran dalam kurikulum KMI tidak persis, karena di sana sini mengalami perubahan.

Santri-santri yang masuk pesantren Al-Mukmin, mayoritas lulus dari SD dan mengikuti pelajaran berjenjang mulai kelas satu sampai kelas enam. Tetapi ada juga santri yang masuk pesantren Al-Mumin sesudah lulus dari SMTP. Bagi santri ini, mereka mengikuti jurusan intensif, termasuk kelas satu intensif, kelas tiga intensif, terus kelas lima dan enam biasa. Jurusan intensif tersebut lebih mementingkan pelajaran agama daripada pelajaran umum karena santri yang sudah lulus SMP sudah banyak dapat pelajaran umum tetapi ketinggalan dalam bidang ilmu agama.

Di tingkat MTs, dan MA, kurikulum memadukan antara kurikulum Departremen Agama dengan kurikulum lokal pesantren. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi santri-santri yang ingin meneruskan ke jenjang pendidikan lain, baik di tingkat Madrasah Aliyah maupun Perguruan Tinggi. Namun untuk Ma’had Aly kondisinya berbeda dengan KMI atau MTs/MA. Meski diselenggarakan Ma’had Aly bagi yang ingin menerusan jenjang Perguruan Tinggi di al-Mukmin, namun tidak banyak alumni MA atau KMI Al-Mukmin yang meneruskan ke Ma’had Aly. Kebanyakan para lulusan MA melanjutan pendidikan di Perguruan Tinggi umum, sebagian lagi tidak meneruskan jenjang pendidikan formal di luar Ma’had Aly al-Mukmin.

  1. Networking (Jaringan) Pesantren

Tentang jaringan pesantren dengan lembaga lain terutama lembaga pendidikan sejenis, pengakuan seorang ustadz di Pesantren Al-Mukmin atas seorang mantan santrinya yang terlibat sebagai salah satu pelaku terorisme, patut dicermati. Bahwa sepanjang di pesantren santri itu tidak pernah diajarkan teori dan praktek jihad memerangi Barat, non-Muslim, terorisme, bom bunuh diri, dan bahasa kekerasan lainnya. Saat santri itu belajar di Al-Mukmin yang diajarkan adalah bagaimana menjadi seorang Muslim moderat yang mampu mengamalkan nilai-nilai ke-Islaman yang rahmatan lil alamin.

Hanya saja, setelah lulus dari pesantren, santri ini melanjutkan di sekolah bahasa Arab, (seperti LIPIA) lalu mereka memulai memisahkan diri. Tampaknya proses radikalisasi dialami oleh santrinya saat ke Afganistan dan negara-negara konflik lainnya. Sebagai guru mengaji, dia memulai mengajarkan kekerasan. Sumber-sumber bacaan dan pergaulannya mempengaruhinya untuk memilih ajaran kekerasan.

Dengan demikian, proses radikalisasi pemikiran ini terjadi seiring pengalaman mereka dengan melihat dan mempersepsi ketertindasan, ditambah lagi dengan justifikasi teks-teks Al Quran dan hadis yang difahami sepotong-potong, literalis, dan di luar konteks ayat yang sesungguhnya. Proses transmisi keilmuan semacam ini biasanya terjadi dalam konteks konflik politik global seperti di Afganistan, Irak, Filipina selatan, dan Poso di Indonesia.

Jaringan itu tidak formal dan tidak spesifik, karena tidak dilakukan secara G to G dan berlaku umum bagi siapa saja. Jaringan antar komunitas alumni pesantren dengan alumni lainnya yang telah menetap di berbagai pesantren di luar negeri, sering mendorong mudahnya transfer radikalisasi ajaran dan pengetahuan. Tak ayal, pemahaman yang semula rasional sering beralih menjadi pemahaman yang radikal dan literalis tekstual.

Proses tranfer pengetahuan ini juga terjadi di pesantren-pesantren di lingkungan NU seperti Pesantren Maslakul Huda Kajen, Pesantren Guyangan, Pesantren Al-Hikmah Benda dan sejumlah pesantren di Jawa Tengah, yang mempunyai jaringan dengan pesantren-pesantren di timur tengah. Persoalannya adalah karena stigma teroris bagi Pesantren Ngruki telah menjadi stempel yang susah dilepaskan dengan jaringan Jamaah Islamiyah di belahan dunia ini.

  1. Pondok Pesantren Al-Asyariyah Wonosobo
  2. Sejarah Singkat

Untuk memperkuat kelembagaan pendidikan pesantren, KH. Mutaha Alh sebagai tokoh sentral PPTQ Al Asy’ariyyah, mendirikan Yayasan Aswaja Baiturrahim dengan akte notaris Nomor 27 tahun 1980. Dalam perkembangannya, yayasan tersebut berubah nama menjadi Yayasan Al Asy’ariyyah (untuk mengabadikan nama KH. Asy’ari, ayah KH. Muntaha), terdaftar dalam akte notaris Nomor 79 Tahun 1989 tertanggal 27 Pebruari 1989.

Kepengurusan yayasan terdiri dari : Dewan Pendiri (KH. Muntaha alh, KH. Mustahal Asy’ari, KH. Ahmad Faqih Muntaha, KH. Ibnu Djauzi, Muhtadi Hasan, dan Marur), Dewan Pembina (KH. Mustahal Asy’ari, KH. Ahmad Faqih Muntaha, KH. Ibnu Djauzi), Dewan Pengawas (KH. Habibullah Idris, K. Chozin Khoms, KH. Drs. Ichwan Qomari, MAg, dll), dan Pengurus Yayasan yang diketua oleh KH. Drs. Muchotob Hamzah, MM.

Tujuan Yayasan Al Asy’ariyyah sebagaimana tertuang dalam AD/ART-nya adalah :

– Membangun dan meningkatkan fungsi pesantren, lembaga-lembaga dan atau lainnya, serta wakaf-wakaf dan sumbangan dari keluarga Almaghfullah KH. Muntaha alh dan masyarakat;

– Ikut serta dalam membangun masyarakat beriman dan bertaqwa, berbudi luhur serta beramal saleh;

– Menjadikan Kalibeber sebagai pusat pendidikan atau ilmu pengetahuan dimasa mendatang.

Yayasan Al Asy’ariyyah membawahi beberapa lembaga pendidikan pesantren, baik yang formal maupun non formal yang merupakan satu kesatuan dalam mewujudkan tujuan membentuk out put intlektual yang berakhlaqul karimah dan berpegang teguh pada nilai-nilai Al Qur’an.

  1. Sistem Pendidikan

Seperti di pesantren NU pada umunya, Al-Asyariyah mempunyai lembaga pendidikan formal sejak MI, MTs, MA, hingga Perguruan Tinggi, yakni Universitas Saint al-Qur’an.

Sistem pendidikan yang dikembangkan di PPTQ al Asy’ariyyah adalah kolaborasi antara sistem salafiyah (tradisional) dan sistem kholafiah (modern). Sistem salafnya adalah, bahwa semua santri harus menetap di pondok dengan model lesehan (tidak sistem kamar), mengikuti ritual ibadah salat jama’ah, salat malam, dan wajib mengaji kitab-kitab.

Tetapi disamping mondok, para santri juga bersekolah formal yang sengaja didirikan oleh pondok, seperti SD, SMP, SMA, dan SMK yang semua Takhassus Al Qur’an. Sekolah formal ini mengikuti kurikulum dan berijazah Diknas. Kurikulum takhassus meliputi : Al Qur’an, Hadits, Fiqh, Aswaja, Aqidah Akhlaq, Qiraatul Qur’an, Nahwu, shorof, bahasa Arab dan bahasa Inggris.

Keunggulan kompetensi Al Asy’ariyyah adalah; Tahfidzul qur’an, Penguasaan kitab kuning, kemampuan bahasa Arab dan Inggris.

  1. Kurikulum

Kegiatan belajar yang dilakukan di lembaga pendidikan dilakukan dengan tatap muka yang alokasi waktunya telah ditentukan dan diperdalam dengan tugas-tugas.

Adapun kurikulum pada kegiatan pendidikan formal disesuaikan dengan kurikulum Depag untuk jenjang pendidikan tingkat MTs, MA. Al-Asyariyah Wonosobo dengan spesifikasi keagamaan serta kurikulum Depdiknas dengan spesifikasi umum, untuk tingkat pendidikan SLTP, dan SMU.

Dalam rangka membentuk karakteristik santri Al-Asyariyah, maka perlu ada penanaman doktrin yang ditanamkan melalui kurikulum pada pelajaran lokal tentang doktrin. Kegiatan ini dilakukan pada kegiatan ekstra maupun intra pada pendidikan formal maupun kegiatan kepesantrenan. Materi dotrin disesuaikan dengan jenjang pendidikan pada masing-masing lembaga.

  1. Networking (Jaringan) Pesantren

Bagi pesantren sebesar Al-Asyariyah, memiliki jaringan luas khususnya di daerah Jawa Tengah. Terlebih kedekatan Kyai dengan pemerintah daerah baik tingkat Kabupaten maupun Provinsi Jawa Tengah. Begitu juga dengan pesantren dan perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia.

Pesantren Dan Terorisme

  1. Pesantren dan Agenda Politik Makar

Pesantren dalam fungsinya sebagai lembaga pendidikan dan pengkaderan memiliki peran untuk mempersiapkan kader yang akan berkiprah dan membangun masyarakat menuju kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.

Upaya ke arah ini tentunya harus diupayakan secara sistematis dan efektif sesuai dengan tujuan pesantren secara umum. Pendidikan dan pembinaan santri adalah serangkaian upaya pendidikan baik kepesantrenan maupun pendidikan formal. Hal ini dilaksanakan dalam rangka untuk menghantarkan santri menuju sebuah tipe pribadi manusia muslim yang seimbang dan utuh, baik jasmaniah maupun rohaniyah sesuai dengan visi misi Pondok Pesantren. .

Pembinaan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang menambah cakrawala berfikir serta pembentukan sikap mental-spiritual, bertingkah laku sesuai dengan tatakrama dan berakhlakul-karimah sesuai dengan kultur (Budaya) Pesantren. Pendidikan dan Pembinaan santri tidak hanya meliputi pendidikan keilmuan dan pengembangan wawasan, akan tetapi juga meliputi pendidikan keterampilan dan kewirausahaan yang harus dimiliki santri untuk siap memasuki dunia yang lebih nyata.

Di kalangan pesantren di Jawa Tengah terutama Al-Mumin Ngruki dan Al-Asyariyah Wonosobo, ilmu-ilmu agama dan ilmu umum diajarkan secara seimbang, sebagai fondasi dalam kehidupan meraih hidup sukses, di dunia maupun jasmani. Tidak ada agenda lain kecuali meningkatkan kemampuan dalam bidang keilmuan. Tenutunya sesuai dengan kekhasan pesantren masing-masing, seperti Al-Asyariyah yang mengkhususkan dalam bidang tahfidz al-Qur’an. Sementara Al-Mumin menekankan pada pendidikan aqidah Islamiyah.

Oleh karena itu secara kelembagaan tidak ada paradigma politik baik high politics maupun low politics menjadi target dalam tujuan pendidikan pesantren. Ini yang menurut pengasuh Al-Mukmin yang membedakan santri Al-Mukmin dengan pesantren di luar negeri seperti di Peshawar Pakistan, atau Taliban di Afghanistan.

  1. Pesantren dan Kurikulum Tersembunyi (Hidden Curriculum)

Kemunculan Al-Mukmin dalam pentas dunia sebagai pesantren yang menjadi sarang teroris, memunculkan banyak pertanyaan dari para peneliti khususnya dan masyarakat pada umumnya. Kondisi ini diakui oleh para ustadz, ketika mereka menerima tamu-tamu khususnya para peneliti dari luar yang menganggap pesantren mempunyai kurikulum lokal, yakni kurikulum tambahan yang diperuntukkan mata pelajaran khusus yang diperlukan oleh para santri.

Sebuah dissertasi di UIN Yogayakarta juga menulis bahwa Al-Mukmin Ngruki mempunyai hidden curriculum. Akan tetapi sepanjang peneliti melakukan wawancara baik dengan asatidz maupun para santri, tidak ada kurikulum lokal yang memuat pelajaran-pelajaran khusus yang berkaitan dengan ketrampilan yang dipunyai seorang teroris. Bahan pengakuan santri kelas VI Kullyatul Muallimin Inslamiyah, bahkan tidak pernah mendapat informasi sama sekali kecuali mata pelajaran yang didapatkan di pesantren. Perlu diketahui bahwa santri dilarang melihat TV di lingkungan pesantren, karena dikhawatirkan akan menggangu konsentrasi belajar.

Kurikulum tersembunyi yang pernah dipertanyaan adalah kurikulum membuat bom dan sejenisnya. Mungkin pertanyaan ini di latarbelakangi oleh berita-berita di media massa yang menyebutkan kemampuan seorang lulusan pesantren dalam merakit bom, seperti bom Bali, bom JE Marriot dan sebagainya.

Sementara pesantren Al-Asyariyah Wonosobo yang dikenal dekat dengan pemerintah tidak mempunyai persoalan krusial dengan kurikulum lokal, karena kurikulum tambahan lebih berdimensi ubudiyyah yakni takhassus al-Qur’an.

  1. Tuduhan sebagai Jaringan Teroris (Pesantren Network)

Tanpa menghindar dari fakta yang ada, jejaring pesantren di Jawa Tengah tidak saja antar pesantren di Jawa, akan tetapi jejaring yang dilakukan hingga ke luar negeri seperti Makkah, Madinah, Marokko, Mesir, Syiria, Lybia dan negara-negara Islam lainnya seperti Iran dan Iraq.

Namun bukan berarti jejaring dengan timur tengah selalu menumbuhkan fundamentalisme beragama yang mengarah pada upaya terorisme. Sebut saja misalnya beberapa lulusan Mesir yang pada akhirnya melakukan kritik internal, kritik atas pemahaman agama yang terlalu tekstual di kalangan alumni timur tengah.

Kasus yang menimpa para pelaku teroris di Indonesia, adalah mereka lulusan yang selanjutnya mengambil kursus atau kuliah di negara-negara Arab yang berfaham wahabi. Akibatnya para santri yang semula mempunyai pemikiran ala ahlussunnah wal jamaah yang moderat, sebagaimana di pesantren-pesantren di Jawa Tengah, mengikuti pola pemahaman wahabi yang menekankan pada pemahaman Islam yang puritan. Maka munculllah kelompok-kelompok salafi radikal yang mengedepankan pemahaman literal atas ajaran-ajaran Islam.[6]

Tuduhan atas pesantren sebagai jaringan terorisme tidaklah berdasar, karena jeda waktu pasca pesantren dengan kejadian melakukan teroris sangat panjang. Sehingga ada kemungkinan persemaian terorisme bukan di Jawa Tengah, tetapi di pesantren-pesantren pasca Jawa Tengah, yakni seperti di Peshawar Pakistan atau di Afghanistan.

Wal hasil, melalui fungsi-fungsi utama dari tiga pilar pesantren yakni kyai, kurikulum dan jejaring pesantren, pesantren memandang bahwa isu terorisme yang berkembang sekarang ini merupakan isu politik yang semakin hari semakin berkembang. Apabila pesantren dengan sub kulturnya mampu memposisikan dirinya dengan teguh, maka tidak akan terbawa stigma terorisme. Sebaliknya bagi pesantren yang tidak kuat dengan derasnya arus globalisasi dunia, maka akan mudah mengikuti berbagai isu global yang semakin transparan termasuk isu terorisme.

Akhir dari penelitian ini menegasan beberapa hal berkaitan dengan respon pesantren terhadap isu terorisme di Jawa Tengah:

Pertama, tentang sikap kayi dalam mengajarkan ajaran-ajaran Islam di kalangan santri pesantren. Secara umum ada dua macam tipologi kyai dalam melaksanakan kegiatan pesantrennya; tipe kyai atau asatidz di Al-Mukmin yang secara tegas selalu menandasakan pada teks-teks al-Qur’an dan As-Sunnah. Semakin literalis dalam mengajarkan ajaran ajaran Islam, maka semakin mudah untuk mengikuti gerakan salafi radikal, yang secara kebetulan mempunyai faham yang sama dengan gerakam salafi radikal kelompok wahabi di timur tengah.

Kedua, tentang kurikulum pesantren. Pesantren tradisional seperti Al-Asyariyah tetap konsisten mengajarkan kitab-kitab mu’tabarah dari madzhab Syafii. Sementara di Al-Mukmin lebih terbuka untuk mengadopsi kitab-kitab kontemporer. Akibatnya, konteks sosial pengarang kitab berpengaruh terhadap para santri, paling tidak ikatan emosional antara pengarang dengan pembaca menjadi sangat erat. Apalagi di tengah arus global sekarang ini, apa yang dihadapi pengarang kitab yang dari daerah-daerah konflik, bisa dimengerti oleh pembacanya di mana saja berada.

Ketiga, tentang jejaring pesantren dengan timur tengah. Jejaring ilmiah menjadikan legitimasi yang kuat atas ilmu-ilmu yang diterimanya, tetapi jejaring politik global akan berakibat pada transfer gerakan politik dari satu daerah ke daerah lain, tanpa batas regional dan bangsa. Akibatnya banyak santri yang secara politik terjebak dengan transfer gerakan politik lokal timur tengah. Bahkan politik lokal dianggap sebagai politik Islam yang universal.*

[1] Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Baca juga Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, Dan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme.

[2] Dodi S, Strategi Penanganan Terorisme, (Makalah seminar, Menggagas Kontraterorisme yang Humanis, 2006, tidak diterbitkan). Lihat juga Imam Samudera, Aku Melawan Terorisme, Solo: Al-Jazeera, 2004).

[3] Baca Imam Samudra, Aku Melawan ‘., hal. 233, juga Nasir Abbas, Membongkar Jamah Islamiyah Pengakuan Mantan Anggota Jamah Islamiyah, Jakarta: Grafindo, 2006.

[4] Wawancara Ustadz Yahya Abdurrahman, 27 Juli 2007, di Ngruki Solo.

[5] KMI merupakan salah satu sistem baru yang diterapkan di berbagai pesantren modern. Ini yang membedakan dengan pesantren klasik. Baca Zamahsyari Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982.

[6] Jajang Jahroni dan Jamhari Makruf, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta: PT GRafindo Persada, 2004.