Wajah Hukum Pidana Islam di Indonesia

Ketika tim pembela muslim, dalam kasus bom Bali mengajukan model pancung dalam prosesi esekusi hukuman mati yang akan dijatuhkan kepada Imam Samudera cs, banyak pihak yang membayangkan bahwa hukum Islam itu menakutkan dan tidak manusiawi. Pasalnya hukuman dilakukan secara vis to vis antara terpidana dengan algojo pancung.

Itulah sekedar gambaran ketidaksesuaian model hukuman dalam hukum pidana Islam dengan misi Islam yang rahmatan lil alamin. Sebagai agama yang menghargai Hak-hak Asasi manusia sekaligus memberikan hukuman (zawajir) yang tidak sesaui dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku sekarang ini.

Tulisan ini mencoba melakukan refleksi terhadap hukum pidana Islam (jinayat) sebagai hukum yang humanis dan berperikemanusiaan. Hukuman mati dan potong tangan sebagaimana banyak disalah-prestasikan sebagai inti hukum pidana Islam oleh sebagaian manusia, bisa diminimalisir tanpa harus merevisi ayat-ayat hukum yang bersifat unmum dan universal.

Tiga kajian pokok

Dalam pembangunan sistem hukum di Indonesia, hukum Islam merupakan salah satu sumber pembangunan hukum di Indonesia. Sistem hukum lain yang dijadikan pegangan adalah hukum adat dan hukum Hindia Belanda.
Hukum pidana Islam sebagai sebuah system hukum, mempunyai tiga aspek kajian; yakni tindak pidana (rukn al-amali), pertanggungjawaban pidana (rukn al-madi) dan pidana atau hukuman (rukn al-syar’i). Tiga aspek tersebut harus difahami secara simultan sehingga akan menggambarkan hokum pidana Islam sebagai sebuah sistem hukum yang universal.

Belakangn, hukum pidana Islam hanya difahami dari aspek pidana/hukuman (uqubat) seperti hukum mati, potong tangan, rajam (terpidana dilempar batu hingga mati), dan jilid (terpidana dipukul dengan rotan). Dengan demikian wajah hukum pidana Islam terkesan bengis, barbarian ala Arab pada masa klasik.

Tidak banyak kajian hukum pidana Islam yang membahas bagaimana tindak pidana hukum Islam seperti pembunuhan itu bisa dikenai hukuman qishash. Tidak sembarang pembunuhan, serta merta dibalas dengan pembunuhan. Begitu juga tidak semua pencurian dikenai hukuman potong tangan.
Qishash, pembunuhan dibalas dengan pembunuhan, misalnya bisa ditegakkan manakala memnuhi unsur tindak pidana dan unsur pertangungjawaban pidana. Hanya tindak pidana pembunuhan yang disengaja (al-qatlu al-amd) yang bias dikenai qishash (dibalas pembunuhan). Ini saja apabila pihak keluarga atau ahli waris tidak memberikan ampunan (ma’fu), apabila ada pengampunan dari keluarga maka hukuman qishash tidak bias dilaksanakan. Begitu juga unsure pertanggunjawaban pidana, qishash dilaksanakan manakala pembunuhan dilakukan karena kehendak sendiri bukan ada scenario dari fihak lain. Yang menarik dari tindak pidana pembunuhan ini, ma’fu (pemaafan) tidak dikenal dalam system hukum konvensional. Sebagai delik biasa, pembunuhan tetap diproses sebagai tindak pidana pembunuhan.

Bahasa Hukum

Persoalan krusial dalam membumikan hukum pidana Islam adalah masih banyaknya istilah-istilah hukum pidana Islam yang menggunakan istilah arab dan latar belakang arab, sehingga hukum pidana islam hanya dianggap pas dengan konteks arab.

Dalam filasafat hukum Islam, secara substansial hukum Islam bersifat universal berlaku diberbagai tempus dan locus (shalihun likulli zamanin wa makanin). Hukum Islam bukanlah hukum yang stagnan.

Kekhasan dari hukum Islam disebabkan karena hukum Islam bersandarkan kepada teks Qur’an (syari’ah). Dari teks-teks hukum Qur’an itulah kemudian diinterpretasikan oleh para fuqaha menjadi hukum Islam termasuk hukum pidana Islam. Sesungguhnya hukum Islam itu berkembang sejak masa sahabat hingga searang ini, tentunya perkembangan hukum Islam disesuaikan dengan konteks budaya dan system masyarakatnya. Untuk itu wujud nyata hukum Islam tidak uniform (seragam), perbedaan tempat dan waktu sangat berpengaruh pada performance hukum Islam.

Inilah wajah hukum pidana Islam yang oleh para pakar hukum Islam menjadi salah satu system hukum yang mapan dan permanent. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional di Indonesia yang hingga saat ini belum selesai, tidak bias lepas dari nuansa hukum pidana Islam.