Hikmah Halal bi Halal di Masa Pandemi Covid 19

Setelah kita merampungkan puasa Ramadhon selama satu bulan, kini waktunya umat Islam merayakan kemenangan iedul fitri dengan suka cita dan gembira, dengan ucapan jaalanallohu minal aidin wal faizin. Kartu lebaran, ungkapan lebaran lewat WA, IG, twitter dnan media social lainnya menghiasi dunia maya, seakan dunia maya hanya milik umat Islam yang sedang merayakan iedul fitri.

Hiruk pikuk lebaran ini selalu berlangsung dari tahun ke tahun menjadi moment yang dinantikan kaum muslimin, hingga di masa pandemic covid 19 ini, tentu dengan berbagai penyesuaian, kaum muslimin meramaikan dengan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sesuai protokol kesehatan. Anjuran pemerintah melalui Kementerian Agama RI, kaum muslimin diminta untuk melakukan sholat idul fitri di rumah masing-masing tanpa mengurangi kekhidmatan suasana iedul fitri di tahun ini. Beberapa hari sebelumnya juga ada edaran untuk mempercepat pembagian zakat fitra dan zakat maal yang biasanya dilakukan di akhir Ramadlon, disarankan untuk dibagikan sejak awal ramadlon sebaga bentuk empati sosial kaum muslimin terhadap situasi dampak covid 19.

Melalui momen halal bihalal yang biasa kita peringati beruntun dengan suasana idel fitri, ada satu yang menarik dari acara halal bihalal yakni evaluasi atau muhasabah atas berbagi hal yang telah kita laksanakan selama bulan suci ramadlon. Bukan untuk mengungkit tetapi untuk bahan evaluasi kita semua agar apa yang kita alami selama bulan suci menjadi support bagi tahapan kehidupan kita di masa yanga akan datang.

Bulan ramadlon yang penuh dengan rahmah, maghfiroh dan itqum minannar (terbebas dari api neraka), sebagai bulan di mana kita kaum muslimin dikarantika secara spiritual. Hampir semua waktu di bulan ramadlon dianggap sebaga bagian dari beribadah kepada Alloh. Hingga dalam stau hadis disebutkan, an naumu ibadah, tidur di bulan ramadlon dianggap sebagai ibadah. Meski tidak serta merta bahwa semua perilaku tidur itu ibadah. Tentu yang dimaksudkan adalah dari pada kita melakukan hal-hal yang tidak baik, maka tidur lebih baik karena menghindarkan diri dari perbuatan tercela.

Dalam sejarah umat manusia dibuktikan bahwa karantina mempunyai efek yang baik bagi orang yang melakukannya. Sejarah membuktikan banyak para kekasih Alloh yang sebelum menjadi Nabi digembleng dengan karantina, sebut saja misalnya nabi Yunus dikarantina di perut ikan, Nabi Yusuf juga dikrantina di penjara, Nabi Muhammad di gua Hiro, mereka pada waktunya mendapatkan previlage dari Yang Maha Kuasa, yakni terpilih menjadi Nabi yang menjadi kekasih Alloh SWT.

Begitu juga dalam tradisi pesantren karantina dikenal sebagai lelaku dalam bentuk tirakat atau puasa selama hitungan hari, bahkan ada puasa ngebleng, puasa dalam hitungan tahun. Mbah Mutamakkin Kajen perneh melakukan tirahat puasa selama 40 hari, Mbah Munawwir Krapyak pernah tirakat 40 hari membaca Quran, dan masih banyak kyai pesantren yang melakukan tirakat. Mereka akhirnya mendapat maqam yang tinggi baik di mata masyarakat maupun di sisi Alloh SWT.

Yang menjadi pertanyaan kita, apakah kita yang telah dikarantina selama bulan Ramadlon ini akan mendapatkan previlage di mata masyarakat atau Alloh SWT. Tentu sebagai manusia tingkatan biasa, kita tidak bisa menyebutkan previlage yang kita dapatkan. Untuk itu kita perlu mengevaluasi apa saja yang kita lakukan selama kita melaksanakan ibadah puasa.

Pertama, pelajaran yang diambil dari puasa ramadlon adalah puasa adalah ibadah yang menuntut keseriusan. Serius, karena puasa ini hanya diketahui oleh orag berpuasa dan Alloh SWT. Tidak ada yang tau kebenaran puasa kecuali orang yang sedang berpuasa. Dalam hadits di sebutkan Alloh berfirman, Puasa adalah urusanku dan Aku yang akan memberikan pahala puasanya hamba.

Kedua, puasa ramadlon tidak hanya bernuansa ritual semata, tetapi dimensi ritual sekaligus dimenso sosial. Secara ritual jelas bahwa selama puasa kedekatan kita dengan Alloh SWT menjadi lebih dekat. Dan menjadi puncaknya di akhir puasa kita diwajibkan untuk bayar zakat fitrah sebagai simbol bahwa kita perlu ber-empati dengan masyarakat sekitar yang membutuhkan. Dalam fiqih, zakat fitrah itu hanya 2.5 atau 3 kg, batasan rata-rata bagi setiap orang yang berpuasa, tanpa melihat kemampuan atau kekayaan si muzakki. Ini mengandung arti bahwa substansi zakat fitrah adalah berbagi dengan masyarakat sekitar, meskipun dengan sedikit makanan pokok masing-masing daerah.

Dua pelajaran itulah yang perlu kita aplikasikan dalam kehidupan riil di tengah masyarakat kita masing masing. Pertama, apa yang kita lakukan dalam kehidupan sekarang ini harus berbasis pada niat yang sungguh-sungguh. Sebagai insan akademik kita dituntut untuk melakukan transfer ilmu secara serius, apalagi di masa pandemic covid 19 yang tidak menentu ini. Apa yang kita lakukan sebagai tenaga pendidik harus dilakukan secara serius dan ikhlas, melakukan transfer of knowledge kepada siswa atau mahasiswa.

Dalam pandangan Imam Al Zarnuji dalam bukunya Talimul Mutaallim, orang yang mengajar kepada siswa, mahasiswa, atau santri sesungguhnya mengajarkan pada diri sendiri dan keluarganya. Maka kalo kita mengajar dengan sungguh-sungguh dan serius, akan kembali kepada kita dan keluarga kita. Banyak anak-anak Kyai, guru atau dosen yang anaknya itu menjadi orang hebat disebabkan karena perilaku orang tuanya yang mengajar secara ikhlas.

Kemudian yang kedua, apa yang kita lakukan harus ada keseimbangan antara nilai nilai spiritualitas dengan nilai sosial. Kita sebagai insan beragama sekaligus insan sosial, harus bisa memadukan dalam segala aspek kehiduapan kita. Usaha dhohir itu penting, tetapi upaya transendental itu juga melengkapi usaha kita. Dalam bahawa agama, tawakkal itu akan menjadi maksimal kalau tawakkal dilakukan setelah melakukan usaha.

Ada 3 bentuk tawakkal, pertama tawakkal bis sabab yakni berserah kepada usaha (sabab) bukan kepada Alloh SWT, kedua tawakkal bighoiri sabab yakni berserah diri kepada Alloh tanpa melakukan usaha usaha dhohir, dan ketiga tawakkal ma’as-sabab yakni berserah diri kepada Alloh setelah melakukan usaha maksimal. Yang terakhir inilah yang tepat kita lakukan di masa pandemic ini, bahwa pandemic covid 19 adalah sebuah keniscayaan di dunia global tanpa ada perkeculian. Kita tetap tegar menghadapi pandemic ini dengan sikap maksimal berusaha mengikuti prosedur kesehatan yang diterapkan oleh pemerinah, dan hasilnya kita serahkan kepada Alloh SWT.

Melalui acara halal bihalal ini semoga kita bisa menerapkan pelajaran yang diambil dari ibadah puasa ramadlon yang dilaksanakan selama sebulan ini. Pelajaran itu di antaranya ibadah dilakukan secara serius dan ibadah bernuansa spiritual dan sosial, sehingga ibadah yang kita tidak hanya unggul di mata Alloh tetapi juga baik di mata masyarakat. Semoga selama masa pandemi ini kita tetap sehat dan tetap bisa beribaha sesuai dengan syariat Allh SWT. Wallohu A’lam bis Showab*)

Ngalian Semarang, 29 Mei 2020
Imam Yahya